Bagian 32

3.7K 191 46
                                    

Setelah banyaknya pikiran yang menggerogoti diriku, aku memutuskan untuk kembali beraktifitas seperti biasa. Mengurus anak, toko, dan merencanakan beberapa projek baru untuk terus melebarkan usahaku. Kali ini, aku kembali ke toko kue di mana aku harus kuat untuk memasang topeng agar masalahku tidak di ketahui oleh banyak orang.

"Bu Nazwa, pesanan kue untuk kantor Bapak apakah di antar kesana atau di jemput sendiri saja?" Tanya Kavian—karyawan ku.

Aku sedikit berpikir "Oh itu, kamu konfir lagi saja menggunakan pesan bisnis kita yah? Karena yang ku ketahui kue-kue itu ada orang khusus yang memesannya dan bukan Bapak," jawabku berbohong.

Tentu saja ini pesanan suamiku dan yang manghandle pesanan ini adalah Khalisa. Aku menyambut beberapa langganan toko kue dengan ramah dan tak lupa senyum manis. Setelah itu, aku kembali duduk di meja kasir dan mendengar cerita Azkia yang tidak ada habisnya.

"Aku ngeri banget, kemarin teman kantor Mas Ilham yang perempuan datang di labrak oleh istri sah," ucap Azkia.

Aku menatap Azkia "Kasus perselingkuhan?" Tanyaku memastikan.

Azkia mengangguk "Padahal Milen itu terkenal baik loh Naz. Aku sampai nggak percaya, loh kok bisa Milen melakukan hal seperti itu? Dia merusak hubungan rumah tangga bahkan melukai perasaan anak-anaknya istri sah."

Aku menghela nafas berat.

Sedikit merenung, memikirkan hal ini. Setelah kecelakaan itu terjadi, Mas Yusuf belum pulang kerumah, Safa terus menanyakan Ayahnya dan parahnya Mas Yusuf masih bisa menelpon Safa dan membohongi anak itu. Lantas bagaimana ia harus menjelaskan kepada Safa tentang apa yang ia lakukan? Bagaimana nanti mental Safa jika ia tahu Ayahnya telah membohongi kami?

"Nazwa," panggil Azkia.

"I-iya, duh maaf maaf," jawabku.

"Kamu kenapa? Nggak enak badan yah? Pulang aja Naz, akhir-akhir ini aku sering lihat kamu melamun. Istrahat di rumah saja yah?"

Aku menggeleng.

"Nggak usah, lagian aku akhir-akhir ini banyak memikirkan bisnis saja kok," jawabku.

"Jangan terlalu di paksa, kalau capek yah istrahat. Aku bekerja denganmu karena aku nggak mau lihat kamu kerepotan sendiri, jadi sekarang kamu pulang saja," ucap Azkia lagi.

Nazwa menatap Azkia dengan dalam lalu tersenyum "Azkia, terimakasih yah sudah menjadi sahabatku sampai sudah selama ini kita bersama. Terimakasih sudah mengerti keadaanku, terimakasih sudah menjadi pendengar terbaikku," ucapku tulus.

Azkia tersenyum, dan spontan memelukku dengan erat.

"Setelah Ibu nggak ada, kamu banyak memberiku waktu dan tenaga. Membantuku bangkit, mencari hidup, memberiku banyak bantuan. Aku merasa beruntung karena kamu, sejauh ini kamu terus membantuku tanpa ngomongin materi yang kamu keluarin untuk aku. Apa yang aku beri belum seberapa Naz, bahkan jika harus pasang badan melindungimu dari hal-hal tidak baik in syaa Allah aku ikhlas," jawab Azkia tulus.

Azkia, sahabat sejati yang mengetahui banyak hal tentangku. Orang tua kandung, masalah-masalah lain, namun aku malah memilih memendam masalah rumah tanggaku tanpa harus mengumbar atau curhat masalah ini kepada Azkia. Setidaknya, di tengah ketidakwarasanku kini, aku hanya mencoba melindungi aib keluargaku bahkan aib seorang lelaki yang masih berstatus suamiku.

.

.

.

Nazwa menatap dua mobil yang tak asing di hadapannya kini. Kakinya bergerak ke pos satpam namun hasilnya nihil ia tak menemukan orang yang ia cari.

Degupan jantungnya terasa memburu, buru-buru ia membuka pintu rumah dan benar saja ia menemukan Yusuf, bukan hanya Yusuf saja ia bahkan mampu melihat dengan jelas ada Khalisa, Rani, dan juga Nari—Ibu Khalisa. Tubuh Nazwa seketika mundur, ia belum siap. Tidak,tidak bahkan tidak akan pernah siap.

Yusuf menghampiri dirinya, Nazwa malah merasa semakin sakit dan di khianati. Lelaki itu menarik tangan Nazwa yang terasa dingin.

"Apa-apaan kamu Mas? Kenapa kau membawa mereka kerumah?" Ucap Nazwa dengan suara bergetar dan air mata yang terus mengalir.

"Kita harus ngomong, ngomongin semua hal yang perlu kita selesaikan Naz dan mereka berhak mendengar hal itu," jawab Yusuf masih menggenggam tangan Nazwa.

"Apa yang harus kita bicarakan? Apa yang harus aku bicarakan di hadapan mereka?" Ucap Nazwa dengan penuh penekanan.

"Masuk saja Nazwa, kami tidak akan berbuat kasar padamu," ucap Rani.

Tubuh Nazwa bergetar menahan segala amarahnya, ia lalu menghapus jejak air matanya dan melepaskan tangan Yusuf dengan kasar dari tangannya. Langkah yang terasa berat, namun ia paksa jalan untuk menghampiri mereka. Nazwa lalu duduk dan menatap orang-orang ini dengan dingin, bahkan ketika tatapannya dan juga tatapan Khalisa bertemu, Nazwa kembali memberikan senyum dingin kepada wanita itu.

"Kau harus mampu menerima pernikahan antara Nazwa dan juga Yusuf. Fakta yang harus kau ketahui adalah Khalisa sudah mengandung anak Yusuf," ucap Rani.

Nazwa menatap Rani dan juga Khalisa secara bergantian.

"A-apa? Hamil? Sejak kapan? Mas tolong beri aku penjelasan."

"Tiga bulan lalu," jawab Yusuf.

Nazwa bertepuk tangan "Tiga bulan lalu? Ternyata kalian sudah lama bermain api di belakangku yah? Khalisa sangat pintar berekting. Rapi sekali kalian menutupi kebohongan kalian," ucap Nazwa dengan kekehan kecil.

"Terima saja Nazwa. Lagian, ini juga kabar bahagia mengingat Yusuf sudah lama menanti buah hati darimu namun tidak mampu kau beri," sambung Rani.

"TERIMA KAU BILANG?" Teriak Nazwa dengan murka.

"Kau," ucap Nazwa sembari menunjuk wajah Rani.

"Kau mau dengar apa yang kuketahui?" Sambung Nazwa.

"Nazwa," bentak Yusuf.

"Kenapa? Kau tak terima aku membela diriku di depan Ibumu yang selalu merendahkan diriku?" Ucap Nazwa dengan emosi meluap-luap.

"Tante Rani, kau lupa antara kau dan Tante Anna? Paman Ali hanya memberi Tante Anna tumpangan kau malah menyangka mereka berselingkuh dan mereka menghianatimu di belakangmu. Efeknya? Sampai detik ini sudah puluhan tahun lamanya kau tak menegur dirinya bahkan menjauhinya. Bagaimana dengan aku? Aku yang terang-terangan di rebut suaminya dan juga di khianati oleh Ibu mertuanya? Apa yang harus aku lakukan hah? Menerima? Apa yang harus aku terima? Zina mereka atau omongan pedas dirimu? Kau harus sadar akan posisi, kita sama-sama wanita. Bahkan di usia senjapun, kau tak bisa sadar dan tidak memaklumi perzinahan dan terus mendukung hal salah yang anakmu lakukan," ucap Nazwa dengan suara tinggi.

Mereka semua terdiam.

Nazwa menatap Khalisa "Kau adalah penipu cerdik yang pernah ku temui. Pura-pura bertanya tentang kondisi suami orang dan ujung-ujungnya kau yang masuk dan merusak kebahagiaan wanita lain," sambung Nazwa.

"Tolong tinggalkan rumahku, aku tidak ingin kalian terus berada di sini. Sungguh memuakkan, kemari memberikan pembelaan namun nyatanya menampakkan diri seperti seorang bodoh yang tak punya pikiran."

"Mbak Nazwa, aku minta maaf," ucap Khalisa menarik lengan Nazwa.

Di tengah air mata yang mengalir deras, Nazwa menoleh dan menatap Khalisa "Kenapa harus minta maaf? Inikan yang kau inginkan? Jangan merasa bersalah karena kau akan hidup dengan gelimangan harta dan juga suami yang baik."

Nazwa lalu melepaskan tangan Khalisa "Ini kali terakhir kau menyentuhku dengan tangan kotormu itu. Aku terlalu suci bersanding dengan sampah kotor sepertimu," ucap Nazwa lalu melanjtukan langkahnya masuk kedalam kamar.

"Mbok Mira, suruh mereka keluar dari rumah ini," ucap Nazwa hingga benar-benar hilang dari penglihatan ketika orang itu.

Dan ketika masuk kedalam kamar, Nazwa terduduk dengan tangisannya yang tidak mampu lagi ia bendung.

******
Okee kita pelan-pelan selesaikan masalah mereka yah teman-teman. Selamat membaca jangan lupa vote dan commen🥰

Wanita Kedua Suamiku (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang