Sudah berapa hari ini, pikiran Hasan di penuhi dengan Safa, Safa, dan Safa. Lelaki itu khawatir dengan pengasuhan Safa yang akan seperti apa nantinya. Apakah keluarganya masih berbelas kasih hingga mau merawatnya, ataukah malah sebaliknya ia di bawa ke panti asuhan.
Dia terus membujuk Noora-Kakaknya untuk mengangkat Safa sebagai anak dan Hasan sendiri yang akan merawat anak itu. Menurutnya, menyuruh Noora untuk mengangkat Safa hanya sebuah pencitraan, namun jelas saja di tolak mentah-mentah oleh Noora. Wanita itu tidak mau melakukan masalah yang melawan hukum.
"Mbak Noor, can you help me untuk sekali ini saja?" Ucap Hasan memohon.
"Astagfirullah Hasan, aku udah tegaskan kalau permintaanmu kali ini nggak bisa aku penuhi. Kita akan melawan hukum nanti, siapa suruh kau terus menerus hidup bujang? Bahkan pernikahanku dengan Mas Sofyan belum cukup lima tahun, sudah pasti pengadilan akan menolak permintaan kami," ucap Noora tak habis pikir dengan Adiknya ini.
"Kamu bisa palsukan berkas penikahanmu, dan aku akan bantu," jawab Hasan.
"Kamu gila? Akal sehatmu mana? Jangan menipu dengan cara seperti ini," tolak Noora dengan keras.
"Aku nggak gila, aku hanya lebih berani," bela Hasan.
"Kau berani menipu negara, menipu orang-orang, dan jelas saja kau di catatkan dosa di sisi Allah. Kalau niatmu menolong, kau bisa cari cara lain selain menipu. Jangan seperti ini, bagaimana kalau Safa besar nanti? Lalu ia tahu caramu mengambil dia adalah dengan cara menipu, apa kamu pikir dia nggak akan kecewa sama kamu?" Jawab Noora dan berusaha mengembalikan akal sehat Hasan ini.
Hasan menghela nafas berat, dia terus beristigfar agar pikiran jernihnya kembali. Benar kata Noora, tidak semua hal bisa di halalkan dengan segala cara. Sepertinya, ia harus ke kantor Yusuf. Satu-satunya harapan Hasan kali ini hanya Yusuf. Hanya lelaki itu yang bisa memberi ia jalan keluar.
"Yaudah, aku mau ke kantor Yusuf dulu. Aku dan istrinya adalah guru Safa di sekolah, dan dia juga kemarin turut ada dan menghibur Safa. Aku ingin meminta solusi darinya," ucap Hasan pamit kepada Kakaknya.
"San, aku bukannya nggak bisa bantu tapi memang keadaan yang nggak bisa kita paksakan sekarang. Semoga Safa cepat mendapat kejelasan dan apapun itu semoga itu yang terbaik untuknya," ucap Noora penuh simpati.
Hasan hanya mengangguk sebagai jawaban, lalu pergi meninggalkan Noora yang masih menatap dirinya dengan rasa iba.
.
.
.
Hasan berjalan masuk ke dalam kantor Yusuf, matanya tak sengaja melihat seorang wanita berkerudung warna hitam yang kini tengah memegang dua gelas kopi di tangannya. Ketika akan masuk ke dalam ruangan, ia bersamaan dengan wanita ini.
"Mohon maaf Pak, Bapak punya keperluan apa dengan Tuan Yusuf?" Tanya wanita itu cepat.
Hasan lalu berhenti dan menatap wanita itu "Saya sudah buat janji dengannya. Kau sendiri mengapa masuk ke dalam ruangannya?" Tanya Hasan.
"Saya asisten Tuan Yusuf. Kalau begitu silahkan masuk terlebih dahulu," ucap wanita itu memberi izin.
Hasan mengangguk lalu membuka pintu, pemandangna pertama yang ia lihat adalah Yusuf yang tengah duduk dan fokus dengan kertas-kertasnya. Melihat itu saja, Hasan sudah bergidik ngeri, perusahaan properti, bisnis makanan, rasanya otak Hasan akan pecah jika mengurus itu dalam waktu bersamaan. Namun, tidak dengan Yusuf, seakan sudah menjadi makanan hari-hari ia terlihat lebih enjoy menjalani pekerjaannya.
"Assalamualaikum Suf, aku ganggu?" Ucap Hasan.
Yusuf menoleh lalu tersenyum tipis.
"Yah nggak lah. Ayo duduk dulu, Ohiya Khalisa pesanan saya sudah ada belum?" Tanya Yusuf.
Khalisa mengangkat kedua tangannya menunjukkan dua kopi dan juga paperbag yang tengah ia pegang.
"Sudah Tuan, sesuai pesanan. Kopi dan juga makanan ringan untuk Tuan dan juga tamu Tuan," jawab Khalisa.
Yusuf mengangguk lalu menyuruh Khalisa menyimpan pesanannya di meja. Hasan terus melihat Khalisa dengan tatapan yang sukit di artikan.
"Suf, nggak salah kamu memilih wanita menjadi asisten pribadimu?" Tanya Hasan ketika melihat Khalisa sudah benar-benar meninggalkan ruangan.
Yusuf mengangguk.
"Dia sudah hampir tiga tahun kerja untukku. Kinerjanya baik, cekatan, dan sudah paham berul pekerjaannya tanpa aku jelaskan," jawab Yusuf sembari menyesap kopinya.
Hasan mengangguk.
"Minum dulu San, ini kopi terenak yang perusahaannya berhasil tembus kantin kantorku," Ucap Yusuf.
Hasan lalu mengambil gelas berisi kopi dan menyesap kopi itu, benar kata Yusuf kopi ini termaksud kopi enak yang ia rasakan.
"Mengenai Safa. Akhir-akhir ini aku belum bertemu dengan dia, aku berencana mengadopsi dia namun, aku belum menikah dan menyuruh Mbak Noora mengadopsi dia tapi kata Mbak Noora pernikahannya belum cukup lima tahun artinya pengadilan sudah pasti menolak dia untuk mengadopsi Safa," ucap Hasan akhirnya.
Yusuf mengangguk paham. Sudah pasti Hasan juga berusaha karena biar bagaimanapun sudah menjadi rahasia umum kalau Hasan yang membiyayai sekolah Safa akhir-akhir ini dan itu artinya Hasan memang sudah menaruh sayang kepada Safa sebagai anak.
"Aku yang akan mengangkat Safa menjadi anak. Pengacaraku juga mengatakan hal yang sama, pengadilan akan menolak pengadopsian anak jika umur pernikahan kami belum cukup lima tahun. Tapi, atas dasar tekanan keluarga Safa, kami ada jalan keluar lain yang akan di tempuh, sampai akhirnya Safa bisa kami resmikan statusnya di negara," jawab Yusuf.
Perkataan Yusuf sukses membuat hati Hasan yang tadinya khawatir, gundah, dan juga bingung merasa menjadi bahagia. Pasalnya, Yusuf adalah orang yang tepat untuk kehidupan Safa kedepannya.
"Suf, apakah menunggu lima tahun itu Safa akan tinggal bersama kau dan juga istrimu?" Tanya Hasan menebak hal itu.
Yusuf mengangguk mantap.
"Benar sekali. Pengacaraku sudah menyiapkan dokumen-dokumen untuk melindungi kami, artinya Safa tinggal bersama kamipun atas desakan dari keluarganya," jawab Yusuf mantap.
Hasan mengangguk paham.
"Suf, aku berterimakasih kepadamu. Benar-benar berterimakasih, aku harap jika ada hal-hal yang bisa kalian minta kepadaku untuk Safa, In syaa Allah bisa aku bantu. Jangan sungkan ngomong kalau untuk Semuanya untuk Safa," ucap Hasan dengan sorot mata tulus kepada Yusuf.
"San, aku menyayangi Safa seperti anak kandungku sendiri. Jangan khawatir, kita sama-sama merawat Safa juga menunjukkan jalan untuk masa depannya kelak. Aku harap, kau turut membantu kami dalam konteks memberi nasehat-nasehat kepada Safa," ucap Yusuf.
Hasan mengangguk yakin, matanya berkaca-kaca karena harapannya kepada Safa tidak putus.
"Yusuf, aku berharap Allah mengangkat derajatmu dan terus membukakan pintu rezeki untukmu. Semoga Safa bisa betah dan cepat beradaptasi dengan kalian," ucap Yusuf akhirnya.
Yusuf mengangguk.
"Terimakasi atas doa baik yang kau berikan San. Semoga Allah membalas kebaikan juga terhadapmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanita Kedua Suamiku (On Going)
RomanceNazwa berpikir, bahwa pernikahannya adalah pernihakan bahagia yang jauh dari kata sedih. Di perlakukan bagai ratu, menjadi Ibu dari seorang anak angkat yang cantik juga baik, selalu di sayangi oleh suaminya dan juga rumah tangganya terbilang minim k...