Safa kecea

2K 96 11
                                    

Hari ini cuaca sedikit mendung, kali ini aku memakai pakaian dengan warna agak mencolok agar terlihat meriah. Iya, tepat hari ini pula anakku Safa akan melaksanakan olimpiade matematika tanpa Ayahnya. Mas Yusuf akhirnya memutuskan pergi ke Paris tanpa aku dan Safa. Beberapa hari ini aku banyak menduga-duga sedang apa dia di sana, di hotel mana ia menginap dan banyak hal lain. Namun, pastinya Khalisa jelas ikut bersamanya. Mataku benar-benar sembab, karena semalam menangis. Kalian tahu? Ponsel Mas Yusuf tak bisa di hubungi padahal hari ini adalah hari berharga untuk Safa dan bukan hanya itu saja dia sengaja mengirimkan aku bunga sebagai perminta maafan yang di dalamnya ada ponsel model terbaru, lelaki itu mengukur kebahagiaanku bisa di bayar dengan uang atau harta benda.

Ayah memarkirkan mobilnya tepat di depan rumah kami, seperti biasa dia akan membukakan pintu mobil untukku dan juga Safa. Melihat Safa, dia akhir-akhir ini terlihat murung. Bahkan, yang ku lihat dia sudah mulai acuh dengan Mas Yusuf. Mobil yang kami tumpangi perlahan-lahan jalan meninggalkan pekarangan rumah. Ayah terus menanyakan kondisi kami berdua dan banyak hal lainnya.

"Fa, kondisi kamu baik-baik saja kan nak?" Tanya Ayah di balik kemudi.

Safa menatap Ayah dengan seksama lalu mengangguk tersenyum.

"Kamu jangan gugup, Gepa akan memberimu semangat yang luar biasa. Jangan sedih juga karena Ayahmu nggak ada di sini," ucap Ayah semangat.

"Iya Gepa. Safa sejauh ini nggak gugup kok hehe, berkat bantuan Bunda juga Safa in syaa Allah bisa melewati semuanya sebentar," jawab Safa lagi.

Ayah tersenyum senang, lalu mengelus kepala Safa yang tertutupi kerudung "Good girl."

"Ngomong-ngomong Ayahmu sudah telepon kamu nggak pagi ini?" Tanya Ayah.

Tiba-tiba raut wajah Safa berubah, entahlah tapi aku ingin menunggu jawaban dari dirinya.

"Nggak Gepa, Ayah akhir-akhir ini sibuk. Tapi Safa nggak sedih kok Gepa, Safa tahu Ayah sibuk untuk aku dan juga Bunda," jawab Safa dengan suara kecil.

Spontan aku menarik Safa dan masuk kedalam dekapanku. Safaku, permata hatiku, seorang anak yang tak keluar dari rahimku namun rasanya jiwaku dan jiwanya telah menyatu, jika benar Ayahmu telah menghianati kita dari belakang, maka ia telah buta dengan keindahan permata yang ia simpan rapi di dalam istananya.

"Bundaa, aku sayang Bunda," ucapnya dengan suara bergetar.

Aku tahu dia menangis, aku tahu dia merasa kecewa, tapi aku lebih tahu Safa lebih kuat dari ini.

"Love you more, Safa. Jangan nangis ihh Bunda nggak bisa tahu lihat kamu sedih-sedih gini," jawabku sembari mengeratkan pelukanku.

"Loh masih pagi loh ini, kalian udah sedih-sedih gini. Senyum dong, Safa apa Bundamu nggak ngasih kamu sarapan yang cukup hari ini?" ucap Ayah bercanda.

Safa terkekeh, tangannya dengan cepat menghapus jejak air matanya dan kembali seperti sedia kala.

"Nggak kok Gepa, Bunda masak masakan yang enak hari ini. Bahkan Bunda sampai bangun lebih cepat loh Gepa," jawab Safa pamer.

"Pantas saja aromanya tercium sampai kamar Gepa," jawab Ayah lagi.

"Ohiya, bagaimana dengan Gepa? Safa lihat Gepa kelihatan lelah," tanya Safa.

"Gepa akhir-akhir ini sibuk mengurus restoran. Ternyata kalau buat bisnis di kota selain penghasilannya bagus, tenaga yang harus di pakai dia kali lipat yah," jawab Ayah dengan senyum tulusnya.

"Yah, kalau lelah istrahat jangan sampai di paksakan. Ingat kondisi Ayah itu lebih penting di banding apapun," ucapku menimpali.

Iya, Safa sudah tahu bahwa Tuan Bariq yang menjadi rekan bisnis Mas Yusuf adalah Ayah kandungku, Safa pun nyaman dengan Ayah, dia bahkan merasakan kasih sayang lebih dari Ayah dan Ibu.

Tiba-tiba saja kami bertiga terdiam, tak ada percakapan dan lain sebagainya. Aku terus sibuk dengan pikiranku dan berusaha untuk memberi yang terbaik untuk Safa hari ini. Setelah sampai, Safa berkumpul dengan beberapa temannya dan juga guru pembimbingnya, sementara aku dan Ayah mencari kursi untuk menonton lombanya. Ayah terus menyoraki Safa dan memberinya semangat.

Pertandingan di mulai, jujur saja lawan Safa adalah anak-anak unggul dan berprestasi yang di utus oleh sekolah mereka. Dan Safa, sampai saat ini masih menduduki nilai tertinggi. Aku dan Ayah terus berharap. Namun, di tengah ketegangan menyaksikan Safa tanding notif chatkutiba-tiba saja berbunyi dan itu dari Mas Yusuf. Iya, dia menginfokan bahwa pukul sembilan malam ia akan sampai ke tanah air. Aku hanya membalas pesan singkat tersebut dengan emoticon senyum lalu kembali fokus kepada Safa.

.

.

.

Pukul delapan malam, aku bersiap-siap dengan dandanan natural yang menempel di wajahku. Iya, seperti rutinitas biasa, aku selalu menjemput Mas Yusuf di bandara. Rasanya, tentu saja berdebar karena aku merindukan sosok lelaki yang kucintai dan juga mengkhianatiku. Sungguh, menyimpan rasa cinta dan benci di dalam hati secara bersamaan adalah hal yang sangat berat dan juga bebannya tak kalah banyak.

Aku lalu mengambil kunci mobilku dan menitipkan Safa kepada Ayah dan Ibu. Di tengah perjalanan, hatiku berdebar begitu kencang, tiba-tiba saja karena terganggu akan hal itu aku menepikan mobilku dan terus beristigfar. Setelah dekat bandara, notif chatku kembali berbunyi. Ternyata itu pesan singkat dari Mas Yusuf yang lagi-lagi menginfokan bahwa ia sudah di perjalanan untuk pulang dan tak usah kujemput. Rasa penasaranku semakin menjadi-jadi, kenapa tiba-tiba orang yang hobi bertemu malah seakan menghindari istrinya sendiri.

Aku tak menampik bahwa semua ini ada alasannya dengan Khalisa, namun aku juga tak mau membangun dugaan negatif yang terlalu besar kepada Mas Yusuf dan juga Khalisa. Aku lalu memutar balik kendaraanku, sepertinya mengunjungi toko di waktu malam bukanlah sesuatu yang buruk.


****
Up tipis-tipis dulu hehew, btw jangan lupa vote dan comment yah.

Wanita Kedua Suamiku (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang