Aku menatap suamiku yang masuk ke dalam kamar dengan penampilan yang berantakan. Aku berdiri dan menyalami tangannya. Seperti biasa, kami bercanda dan diam-diam dia mengeluarkan kotak kecil yang ku yakini itu berisi cincin.
Dia memelukku dengan erat sembari berkata "Aku berharap hadiah ini memberikanmu kebahagiaan sebab ini adalah tanda cinta dariku."
Aku tersenyum kecut. Di pelukannya, segala rasa marahku benar-benar memuncak. Sungguh, fikiranku sudah tidak bisa di ajak untuk positif. Aku ingin menuntut banyak sekali jawaban atas pertanyaanku beberapa hari belakangan ini.
"Kita sudah enam tahun yah Mas, kata teman-teman mereka banyak di uji di usia pernikahan ini," ucapku tenang.
"Mereka nggak menikmati hidup berumah tangga mereka, jadi merasa di uji. Kenapa sampai enam tahun kita fine-fine saja? Itu karena kita nggak mikir sesuatu yang bisa mengundang konflik dan juga mempermasalahkan sesuatu yang kecil untuk di perdebatkan," jawabnya sembari mengelus lembut punggungku.
'Kau salah, karena kau adalah pemain tenang dan aku adalah wanita bodoh yang telat menyadarinya,' ucapku bermolog.
"Ngomong-ngomong coba di pakai dulu pemberianku," ucap Mas Yusuf.
Aku membuka kotak cincin tersebut lalu memakainya dengan cepat. Dia terus memujiku dan memelukku dengan begitu mesra.
"Cincinnya sangat cocok di jari manismu," sambungnya lagi.
Aku tersenyum mengangguk.
"Aku mau ngomong sesuatu yang serius," ucapku pelan.
Mas Yusuf tertarik, dia menarik tanganku dan kami duduk di pinggir ranjang.
"Safa tadi pagi ngeluh sama aku katanya kamu nggak datang waktu pertemuan orang tua di sekolahannya dia dan yang datang malah Hasan. Tapi kenapa pas aku nanya ke kamu, kamu malah jawab aku sudah pergi?" Tanyaku padanya.
Dia terlihat berpikir, ku rasa dia tengah menyembunyikan rasa gugupnya di hadapanku.
"Ah iya waktu itu, jadwal ku mengecek lokasi pembangunan bisnis baru berubah. Aku akhirnya minta tolong pada Hasan untuk menggantikanku," ucapnya sedikit tidak tenang.
Aku mengangguk, lalu berdiri mengambil sepatunya yang ia tinggalkan di depan pintu.
"Lalu kenapa kau bilang kepada kalau hari kita kamu sudah pergi ke sekolahan Safa?" Tanyaku lagi.
Dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, bahkan beberapa kali menggaruk pelipisnya.
"Aku hanya takut kamu marah karena aku tidak menepati janjiku kepada Safa. Maaf yah?" Ucapnya lalu berdiri memelukku.
Aku menghela nafas berat. Sungguh, apakah ini bisa di percaya atau tidak? Hatiku berat memikirkan Mas Yusuf berselingkuh di belakangku, rasanya remuk, sesak. Tapi sejauh ini, aku tidak mau berpikir yang tidak-tidak tentangnya, siapa tahu saja semuanya kebetulan? Akkhhh...sungguh mengapa aku tidak konsisten? Aku meyakini bahwa dia berselingkuh di belakangku dan beberapa menit kemudian aku selalu mengatakan dia tidak akan melakukan itu. Janjinya besar terhadapku, tanggung jawabnya pun tak kalah besar. Kami berdua telah mengikat janji di hadapan Allah, dan itu cukup menjadi pengingat kami dalam melangkahkan kaki keluar rumah. Tapi, apakah janji itu bisa di jaga sampai bertahun-tahun lamanya?
Terpaksa aku mengangguk, untuk mengakhiri bincang kami yang pastinya akan terlalu jauh. Sebaiknya, aku mengumpulkan bukti-bukti yang cukup kuat untuk memperjelas apakah dia berselingkuh atau tidak.
.
.
.
Di saat ku perintahkan otakku agar tak gegabah mengambil tindakan dan mengeluarkan kata-kata, di saat itu pula aku terpikirkan untuk menyusun beberapa rencana kecil, apalagi ada satu barang bukti yang sangat penting yang kudapati subuh tadi. Tujuannya, hanya untuk meyakinkan apa yang aku bayangkan tentang suamiku salah atau benar. Itu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanita Kedua Suamiku (On Going)
RomanceNazwa berpikir, bahwa pernikahannya adalah pernihakan bahagia yang jauh dari kata sedih. Di perlakukan bagai ratu, menjadi Ibu dari seorang anak angkat yang cantik juga baik, selalu di sayangi oleh suaminya dan juga rumah tangganya terbilang minim k...