Aku terus tersenyum ketika mendapati keakraban yang terjadi di antara Safa dan juga Nazwa. Sungguh, aku berharap banyak pada Safa. Berharap ia bisa menjadi bunga-bunga rumah kami, menjadi sumber kebahagiaan istriku, dan turut menjadi sumber kebahagiaanku. Sungguh aku telah menyayangi Safa karena kesantunan dan kedewasaan anak ini terlepas dari kisah pilunya. Kami membahas banyak hal termaksud keinginan Safa memelihara kucing yang sampai saat ini belum teralisasikan karena Neneknya tidak berkenan.
"Safa, kamu mau nggak jadi anaknya Ibu Guru dan juga Paman," tanya Nazwa di sela-sela perbincangan kami.
Mata jernih Safa menatap wajah cantik Nazwa, bahkan mulutnya terkunci rapat. Merasa di tatap dengan tatapan penuh tanda tanya, Nazwa langsung mengubah topik pembicaraan mereka. Kurasa, Safa memang belum paham benar keadaan yang menimpanya dan juga hal apa saja yang harus ia lewati kedepannya.
Setelah sampai, kami bertiga lalu keluar dari dalam mobil. Safa kecil, berlalu masuk kedalam rumahnya dan segera menceritakan pengalamannya kepada sepupu-sepupunya. Kami di sambut dengan hangat oleh keluarga Safa terutama Paman dan juga Bibinya. Nazwa terus berada di sampingku, memberikan mereka senyuman hangat dan juga sesekali menjawab pertanyaan yang mereka lontarkan kepada kami berdua tak hanya itu mereka juga mempersilahkan kami duduk.
"Saya punya maksud dan tujuan lain bertemu kalian," ucapku kepada Paman dan Bibi Safa.
Mereka semua saling tatap, seakan menebak-nebak hal apa yang ingin aku katakan.
"Silahkan Pak Yusuf," jawab Edi dengan suara lembut.
"Setelah mendengar penjelasan istri saya tempo lalu mengenai Safa, apakah benar kalian menunggu orang yang akan mengangkatnya menjadi anak?" Tanyaku langsung tanpa basa-basi.
Mereka semua mengangagguk dan salah seorang dari mereka berucap "Bukannya kami tidak mampu Pak Yusuf. Hanya saja, keadaan dan kondisi ekonomi kami sedang tidak stabil, ada yang suaminya kena PHK, yang bangkrut dan banyak perosalan-persoalan lainnya."
Aku mengangguk paham.
"Bahkan, salah satu di antara kami hanya sepakat memberi Safa tempat tinggal selama dua minggu saja dan sisanya jika tidak ada yang akan mengadopsi dia terpaksa kami bawa di panti asuhan. Hal ini sudah menjadi final dari keputusan keluarga kami Pak," ucap Eti terang-terangan.
"Baiklah kalau begitu, saya turut senang kalian membukakan jalan untukku agar mengangkat Safa menjadi anakku. Hanya saja, kalian cukup tega melontarkan kalimat ini kepada keponakan kalian cucu mendiang Tante kalian," jawabku sembari tersenyum.
Mereka semua terdiam, ini cukup untuk mereka yang tidak memikirkan perasaan seorang anak yang butuh belas kasih orang-orang terdekatnya.
"Saya akan mengangkat Safa menjadi anak saya, dan mengurus dokumen-dokumen pengangkatan Safa agar saya juga lebih leluasa mengurusnya di hukum. Kalau begitu Pak Edi, saya minta kepada Bapak untuk merawat Safa sampai semua berkas Safa masuk ke pengadilan. In syaa Allah, mulai hari ini saya dan juga pengacara saya sudah membicarakan hal ini. Besok akan kami proses, saya ingin secepatnya prosesnya selesai. Mohon bantuannya yah Pak Edi, saya akan menghubungi Bapak berkas apa saja yang kami butuhkan," sambungku lagi.
Mereka terlihat terkejut dan mengatakan banyak sekali hal manis tentang Safa. Ohayolah, mereka sangat cepat sekali berubah, tadi merasa Safa adalah beban baru bagi mereka sekarang malah beda lagi. Sebenarnya mereka ini punya berapa kepribadian sih?
.
.
.
Tangan Yusuf dan juga Nazwa saling genggam, mereka menatap kedua orang tua Yusuf dengan tatapan yang sulit di artikan.
"Kalian kenapasih? Kenapa mengajak makan namun malah membuat suasana jadi canggung begini," tegur Rani.
"Ada yang mau di omongin?" Tanya Ali kepada anak dan juga menantunya.
"Ayah dan Ibu ada baiknya kita pesan makan dulu yah? Setelah makan, Yusuf sampaikan kabar ini kepada kalian," ucap Yusuf dengan tenang.
"Ck, Yusuf kamu bikin penasaran saja. Yaudah, ayo Yah pesan makan dulu. Biar kita cepat makan dan dengar kabar apa yang akan Yusuf beritahu kepada kita," ucap Rani.
Mereka memesan makanan, makana, dan setelah itu selesai. Secepat itu waktu berlalu, bahkan mereka berempat tak saling melempar kalimat ketika makan, di pihak Yusuf dan juga Nazwa masih mengumpulkan nyali sementara di pihak Ali dan juga Rani masih bertanya-tanya hal apa yang akan anak dan juga menantu mereka akan sampaikan.
"Oke, sekarang mau ngomong apa?" Tanya Rani ketika gelas minumnya sudah kembali menyentuh meja makan.
"Ekhem."
"Ayah, Ibu. Kami memutuskan untuk mengangkat anak berusia enam tahun," ucap Yusuf akhirnya.
Wajah Rani terlihat tidak senang, bahkan beberapa kali menghela nafas berat.
"Kenapa angkat anak? Apa kalian tidak berniat untuk punya anak sendiri?" Tanya Ali.
Mereka berdua menggeleng bersamaan.
"Sembari menunggu, kami sudah sepakat untuk mengangkat anak tersebut menjadi anak kami. Ohiya, dan ini atas permintaan Yusuf sendiri kepada Nazwa."
"Kenapa harus angkat anak? Kenapa nggak mau hamil dulu? Punya anak sendiri dulu? Setelah itu kalian bisa mikirin angkat anak. Hal ini bisa saja menambah kecurigaanku kepada kamu loh Nazwa. Apa benar kamu masih normal? Ataukah kamu punya kelainan atau bahkan mandul? Makanya kalian memutuskan untuk mengangkat anak," ucap Rani berapi-api.
Perkataan Rani sukeses membuat perasaan Nazwa menjadi berantakan. Bagaimana bisa ia di katakan mandul? Maksudnya hanya mengangkat anak Ibu mertuanya sampai tega mengatakan hal sesakit itu padanya.
"Bu, kenapa pemikiran Ibu sampai sejauh itusih? Ini hanya perkara mengangkat anak. Tidak ada salahnya kan Bu? Lagipula Ibu belum bertemu dengan anak itu, kenapa Ibu sampai menilai Nazwa terlalu jauh Bu? Apa Ibu nggak kasihan sama anak mantu Ibu?" Bela Yusuf.
"Sejak kapan kamu nantang Ibu seperti ini Suf? Kenapa kau sampai hati menantang Ibu yang melahirkanmu? Ibu hanya bertanya pertanyaan yang normal di tanyakan oleh Ibu mertua."
Yusuf menatap Ayah dan juga Ibunya secara bergantian.
"Ibu melukai perasaan Nazwa, Ibu tahu kalau semua perempuan akan merasa sakit jika di singgung masalah kehamilan. Disini bukan Nazwa yang salah, bahkan tak ada yang salah. Hanya saja reaksi Ibu membuatku kecewa," jawab Yusuf lagi.
"Baiklah, baiklah. Terserah kalian saja, toh yang menjalani hidup kalian yah kalian sendiri. Ibu nggak ada sangkut pautnya dengan kalian. Angkat anak sebanyak yang kalian mau, satu hal yang nggak bisa kau sembunyi dari Ibumu Yusuf yaitu kekurangan istrimu karena Ibu juga wanita," ucap Rani lalu melenggang pergi.
Ali menggeleng melihat Rani, menurutnya hal itu juga sudah terlalu berlebihan di matanya.
"Ayah lihat Ibu, dia sampai tega mengucapkan banyak hal tentang Nazwa," ucap Yusuf dengan suara pelan.
"Nazwa, jangan di jadikan beban yah perkataan Ibumu. Mungkin, dia sedang ada masalah atau hal lain. Ayah setuju kok dengan keputusan kalian, mungkin kalian punya alasan tersendiri untuk itu. Asalkan kalian sudah mampu bertanggung jawab atas anak itu dan sudah bisa melihat kedepannya kalian harus bagaimana," ucap Ali dengan suara teduhnya.
Nazwa hanya tersenyum mengangguk. Entah sampai kapan ia akan di cap sebagai wanita mandul oleh Ibu mertuanya, yang jelas sepertinya Rani akhir-akhir ini selalu sarkas jika bertemu dirinya. Ini bukan kali pertama ia di sindir mengenai anak, namun baru kali ini Rani secara terang-terangan mengatakan bahwa ia mencurigai dirinya mandul.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanita Kedua Suamiku (On Going)
RomantikNazwa berpikir, bahwa pernikahannya adalah pernihakan bahagia yang jauh dari kata sedih. Di perlakukan bagai ratu, menjadi Ibu dari seorang anak angkat yang cantik juga baik, selalu di sayangi oleh suaminya dan juga rumah tangganya terbilang minim k...