Bagian 31

3.6K 145 36
                                    

Udara sejuk menyeruak memanjakan indra penciuman dan juga tubuh sepasang suami istri yang kini tengah duduk di taman rumah sakit. Tak ada kata apapun yang keluar dari mulut keduanya namun, mereka saling beradu pikiran. Semalam, adalah malam panjang. Mereka tidak mengira kebohongan yang mereka tutupi rapat-rapat semuanya terkuak di depan orang yang tidak seharusnya tahu.

Lelaki itu terus menghela nafas panjang sembari menutup matanya. Rasa bersalah terus menerus hadir di dalam dirinya.

"Setelah kejadian semalam, apakah kita harus mengumpulkan beberapa keluarga dan berterus terang?" Ungkap wanita itu akhirnya.

Pelan-pelan, lelaki tersebut menoleh kearah wanita yang duduk di sampingnya kini "Kau siap dengan konsekuensinya?" Tanya lelaki itu memastikan.

Sang wanita mengangguk yakin "Aku sudah lelah bersembunyi di balik kebohongan Mas, bukan hanya itu saja aku sudah tidak mampu menahan kecemburuanku kepada Nazwa," ucapnya jujur.

"Khalisa, apa yang kita lakukan bukanlah hal yang mudah. Kita sudah melalui banyak hal di sini, berani membohongi Nazwa, anakku, orang-orang di sekitarku. Apa sebaiknya, kita pelan-pelan saja berjalan dan mengungkapkan fakta mengenai kau istriku dan aku suamimu?"

"Kamu jangan egois Mas, usia kandunganku sudah memasuki bulan ketiga. Sudah sangat sulit kita tutupi, bagaimana aku di kantor? Bagaimana omongan orang tentangku bahkan kehamilanku? Sekarang bukan lagi waktunya menjaga perasaan Istrimu yang lain. Kau harus lebih bisa mengambil keputusan tepat dan memprioritaskanku. Aku hanya ingin anak kita di akui dan dia tidak menjadi bulan-bulanan orang-orang di masa yang akan datang," ucap Khalisa panjang lebar.

"Khalisa."

"Aku tahu awal pernikahan kita karena kau menghamiliku, tapi bukankah hubungan kita sudah sah secara agama?"

"Syarat menikah kita sudah terpenuhi, bahkan tanpa persetujuan Nazwa pun pernikahan kita sah. Tapi, hanya di mata agama saja, di mata hukum kita berdua tetaplah orang yang salah dan bisa untuk di pidanakan oleh Nazwa," ucap Yusuf dengan suara lemah.

"Intinya, aku ingin semuanya jelas sekarang. Aku ingin Ayahmu tahu, keluarga besar tahu, bahkan orang-orang di kantor," jawab Khalisa dengan suara lantang lalu meminta perawat untuk mengantar dirinya kembali masuk kedalam ruangan.

Hingga, seorang wanita paruh baya datang menghampiri Yusuf dengan gelas air minum di tangannya.

"Istrimu kenapa? Dia terlihat diam ketika kembali di kamar,"Tanya wanita itu.

"Dia ingin kami berbicara tentang semuanya Bu, terutama tentang hubungan kami," ucap Yusuf.

Rani tersenyum "Bukankah sudah dari lama Ibu katakan padamu untuk berterus terang pada orang-orang?"

"Tidak mudah Bu, semuanya tidak mudah. Aku bukan hanya punya Khalisa tapi Nazwa dan juga anakku Safa. Aku tidak bisa melukai mereka terlalu jauh, rasa sakit hati Nazwa dan juga Safa! Aku sudah seperti seorang lelaki bejat Bu," jawab Yusuf tertunduk.

"Memikirkan Nazwa yang tidak memberimu kebahagiaan yang sempurna? Bagaimana bisa kau masih menyimpan perasaan terhadapnya? Kau dan juga Khalisa sudah mempunyai kebahagiaan lengkap, anak, kalian baru saja pulang dari bulan madu, dia juga baik dan cantik. Lantas apalagi? Bahkan di pikiran Ibu, Khalisa sudah cukup untukmu," ucap Rani.

Yusuf menatap wajah Rani.

"Nazwa sudah punya ruang khusus di hatiku, aku bisa mencintai Khalisa tapi tidak menghilangkan Nazwa di dalam sana. Aku ingin adil Bu," ucap Yusuf.

"Adil bagaimana? Kau ingin hubunganmu dengan Khalisa terus lanjut dan tidak ingin melepaskan Nazwa? Apakah setelah melihat responnya kau melihat dia akan menerima Khalisa menjadi madunya?" Ucap Rani lantang.

"Entahlah, ini sulit Bu. Aku mencintai Khalisa namun juga mencintai Nazwa."

"Pendapat Ibu, perjuangkan Khalisa dan tinggalkan Nazwa. Ibu yakin dia akan mengukur diri, mengukur kekurangannya. Ibu juga pikir dia mungkin bisa dengan lelaki lain yang bisa menerima banyak sekali kekurangannya," ucap Rani.

Yusuf terdiam. Itulah dia, terus diam ketika Nazwa terang-terangan di caci-maki oleh Ibunya sendiri.

.

.

.

Di tempat lain, Nazwa bangun pagi dengan mata sembab. Ia harus tegar di hadapan Safa guna melindungi mental anak itu. Kali ini kegiatannya seperti biasa, memasak sarapan dan juga menyiapkan kebutuhan Safa.

Mbok Mira, asisten Nazwa yang belum lama bekerja dengan wanita itu dengan sigap membantu Nazwa menyiapkan sarapan. Ia tahu bahwa Yusuf sudah pulang dan mungkin akan sarapan bersama dengan anak dan istrinya pagi ini.

"Nyobund, ini sayurnya segini yah?" Tanya Mbok Mira.

Nazwa menatap sayur yang berada di loyang besar, tangan Nazwa bergerak mengurangi sayur tersebut dan menyimpannya kembali di sebuah wadah penyimpanan.

"Bapak nggak pulang, hari ini kita masak sarapan seperti biasa saja," jawab Nazwa tenang lalu kembali fokus mengupas buah.

Mbok Mira terlihat berpikir, bukankah semalam Nazwa meminta izin untuk menjemput Yusuf? Tapi mengapa pagi ini ia mendapati bahwa Yusuf tak pulang. Mbok Mira tak tahu apa yang terjadi semalam sebab, ia tidur lebih cepat.

"Ohiya Mbok, tolong di cek Safanya. Mungkin ada sesuatu yang kurang atau tercecer, Mbok bisa bantu dia."

Mbok Mira mengangguk dan pergi meninggalkan Nazwa. Seketika, Nazwa mendudukkan dirinya di kursi lalu membuka ponselnya. Ia harus jujur, bahwa hari ini ia merindukan suaminya. Lelaki yang melakukan penghianatan pada dirinya dan juga rumah tangga mereka.

Tangannya bergerak membuka galeri, di sana banyak sekali foto-foto yang menunjukkan kebahagiaan antara dirinya dan juga Yusuf bahkan ada beberapa moment keluarga mereka berdua saling berkumpul. Tak terasa air matanya jatuh, ia kembali tertunduk. Dadanya terasa sesak, seakan segala beban semakin berat setiap harinya.

'Sumber bahagia yang bisa saja menjadi sumber patah hati terdalam.'

'Rasanya ternyata lebih sakit dari yang ku bayangkan.'

'Luka yang ia gores ternyata bukanlah sebuah luka kecil melainkan sebuah luka besar yang bisa saja berdarah di setiap waktu.'

'Bagaimana bisa orang yang aku cintai ternyata melukaiku dengan sesakit ini?'

Semua kalimat berperang di dalam hati dan pikiran Nazwa, bukannya tenang tapi malah membuat dirinya semakin berat dan merasakan tekanan batin yang amat sangat besar. Pagi ini, ia tidak hanya menghindari Safa guna menghindari pertanyaan apa yang terjadi padanya namun juga ia kembali lemah oleh keadaan rumah tangganya.

'Hidup yang malang, rumah tangga yang malang, dan aku yang malam,' ucap Nazwa menbatin.


*****
Tarik nafas panjang dulu wkwk, jangan lupa buangggg. Btw selamat membaca yah, jangan emosyii dlu. Ohiya jgn lupa juga vote dan comment🤎

Wanita Kedua Suamiku (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang