CHAPTER 44 - Hopeless

1.6K 120 17
                                    

Playlist-merasa indah

Perih kusaat merasa indah
Semua hilang dan usai
Bila cinta ini tak nyata
Jangan engkau beri harapan
Sudah cukup kini kusadari, terlalu cepat jatuhkan hati


Dia tidak ingin mengeluh sekarang. Tetapi, kenapa rasanya sulit? Bibirnya geram, ingin sekali meneriakkan kalimat yang menyerukan jika dirinya ini lelah. Lelah dengan keadaan yang selalu berhasil mematahkan semangat hidupnya.

Selepas menapakkan kakinya hingga sampai ke tempat ini, Airell menghembuskan napas sejenak. Menghilangkan perasaan letih yang menggerogoti tubuhnya setelah berjam-jam berjalan hanya bermodalkan alas kaki. Tatapan mata Airell menerawang ke depan. Saat ini, dia berada di gedung yang sama ketika Arsen membawanya. Tempat dimana Arsen menorehkan luka dahsyat di hatinya. Kini, lagi-lagi dia datang ke tempat ini, bahkan dalam kondisi yang serupa.

Hancur berkat pria tak berperasaan yang tega meremukkan hatinya menjadi kepingan tak berbentuk.

Kedua kakinya berpijak pada lantai bangunan atap rooftoop. Langkah kaki Airell semakin bergerak maju, mendekati batas akhir. Di kala matanya memandang ke depan, ia dapat melihat lalu lintas dari atas ketinggian.

"Gue takut ketinggian,"

"Kalo jatuh ke bawah, apa rasanya bakal sakit?" gumamnya lagi pada diri sendiri.

Namun, setelah itu dia tertawa. "Gue salah. Lebih sakit hidup di dunia ini daripada mati karena jatuh dari ketinggian."

Kalau saja Liam berada di sini, dia pasti dimarahi habis-habisan oleh kakaknya itu. Tak lama kemudian, lutut Airell jatuh begitu saja, membuat tubuhnya meluruh ke bawah sembari menyangga pada kedua tangan. "Kak, tolong gue. Penyakit gue kambuh," ujar Airell mulai mengeluarkan rintihan kecil dari bibirnya.

Sepertinya memang benar. Penyakit yang beberapa bulan ini jarang ia alami, sekarang kembali. Gangguan kepribadiannya 'Intermittent Explosive Disorder (IED)', sedang kambuh. Airell tidak sanggup menahan getaran amarah dalam dirinya. Dia ingin mengamuk seperti orang kesetanan, tapi tubuhnya terasa lemas. Fisik serta mentalnya lebih dulu melemah sebelum dia dapat menuntaskan amarahnya. Tamparan serta bogeman mentah yang ia layangkan kepada dua manusia itu belum cukup untuk memuaskan hasratnya.

"Gue butuh sesuatu.."

Airell mulai meracau tak jelas di sela tangisannya. Dengan gerakan tak beraturan, tangannya membuka isi tas, berharap menemukan sesuatu di dalam sana. Tapi nihil, Airell tidak menemukan benda tajam atau barang yang dapat ia gunakan.

"Ah.. sakit.." racauan terus bergumam di bibirnya.

Penyakit yang perlahan menggerogoti mentalnya itu seperti merongrong masuk, menyiksa akal sehat Airell. Dia tidak bisa berpikir jernih. Kedua tangan Airell meremas rambutnya brutal. Hingga membuat helaian rambut berjatuhan dari akarnya.

"Tolong.. Kak Liam.."

Jika tidak segera dituntaskan, sesuatu yang mengganjal di dalam dirinya itu bisa-bisa meledak. Dalam keadaan tak terkontrol, tubuhnya mulai bangkit secara tergesa. Berjalan gontai tak tentu arah seraya menarik-narik rambutnya kasar.

"Mama.. tolong Airell.."

Rupanya langkah tak beraturannya membawa Airell ke dinding pembatas rooftoop. Dinding pembatas tersebut tak terlalu tinggi, hanya berdiri seukuran pundak Airell saja. Sementara itu, kakinya mulai bergerak mendekati dinding pembatas, membuat tubuh depannya menempel pada tembok. Saat melihat ke depan, senyuman tiba-tiba terbit di wajah sembabnya. Seulas senyum sendu dibarengi mata berkaca-kaca.

HI ANTAGONIST!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang