CHAPTER 46 - Kecewa Lagi

2.4K 131 12
                                    

Tidak perlu susah payah mencari musuh di luaran sana yang bisa melukai kita, karena orang terdekat pun terkadang bisa menjadi musuh nyata dari rasa sakit terhebat yang paling banyak kita terima.


Terkadang, permainan takdir begitu menjebak, hingga membuat tiga manusia sekaligus bisa terjebak ke dalam sebuah takdir yang rumit. Mencintai seseorang yang bahkan tidak pernah memikirkan kita barang sedikit. Ingin sekali dia meneriakkan jalan takdir.

"Andai mereka tau, kalo cinta bertepuk sebelah tangan itu gak enak," kekeh Airell miris.

Saat ini, dia sedang mencoba mencari ketenangan di tempat sunyi. Sepulang sekolah, Airell langsung melajukan mobilnya ke tempat ini seorang diri. Membawa segala keluh kesah yang tengah ia rasakan sampai rasanya hampir meledak.

Gadis itu terduduk di atas bukit sambil memeluk kedua lututnya sendiri. Sorot matanya yang teduh memandang ke depan, dimana dia dapat melihat pemandangan kota dari ketinggian. Semilir angin ikut menerbangkan helaian rambutnya, membuat paras cantuk gadis itu sedikit terhalang.

"Gak baik duduk sendirian di tempat sepi kaya gini. Ntar kesambet loh."

Seruan seseorang yang ia kenal dari belakang sontak membuat ketenangan Airell sedikit merasa terganggu. Tanpa berbalik badan pun dia sudah tahu siapa orang kurang kerjaan yang berani mengikutinya sampai sini.

"Ngapain lo ke sini?" sahut Airell tak suka saat Tristan mendudukkan tubuhnya di samping gadis itu. Alhasil, posisi mereka sekarang bersebelahan dan saling memandang ke depan. Memeluk kedua lutut di depan dada.

"Kenapa lo suka banget pergi sendirian? Itu berbahaya buat lo yang suka--" Ucapan Tristan terhenti begitu saja ketika wajah Airell menoleh ke arahnya. Menatap Tristan penuh tanya. "Suka apa?" tanya Airell.

"Lo lupa kemarin baru aja hampir lompat dari rooftoop?" decak Tristan tak menutupi rasa khawatirnya.

Mendengar itu, Airell terkekeh pelan. Sejenak, dia menikmati moment ini. Moment dimana dia merasakan sedih, sakit, kecewa, bahagia, sunyi dan kesepian secara bersamaan. Namun, semua perasaan itu seolah lenyap entah kemana saat Tristan datang menghampiri. Mengisi ruang hampa yang menganga dalam relung hati Airell.

"Andai kemarin gue beneran lompat dari sana, apa hidup gue bakalan baik-baik aja?" gumam Airell pada dirinya sendiri.

Tristan terdiam sejenak. Mencoba merangkai kata-kata yang tepat untuk menjawab gumaman gadis itu. "Jangan-jangan lo ngga pernah belajar agama ya?"

"Belajar lah. Dari gue masih Playground sampai sekarang pun gue belajar agama," sungut Airell tak terima.

"Kalo gitu, kenapa lo ngga coba terapin pelajaran agama yang lo dapat selama bertahun-tahun? Lo tau kan, bunuh diri itu dilarang dan ngga pernah dibenarkan untuk apapun alasannya. Hidup dan mati kita udah ada Tuhan yang ngatur. Menurut lo, kalo Tuhan tau umat-Nya milih bunuh diri gitu aja, apa dia bakalan maafin? Of course not. Lo bakalan disiksa di neraka jahanam. Mau lo?"

Setelah mengatakan itu, bibir keduanya sama-sama bungkam. Mereka tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Sedangkan Airell, dia memilih mengenang masa-masa indah bersama keluarganya sebelum Alice dan Meyrose datang. Hingga tanpa sadar, matanya basah.

"Siapa sih yang pengin kaya gue, Tan? Gue juga gak pengin bunuh diri secara konyol kaya yang tadi gue bilang. Exactly it's impossible. Hidup gue terlalu berharga buat mati gitu aja. Tapi, lo tau kan? Mental gue ini sakit. Tanpa perlu susah-susah buat bunuh diri, mental gue sendiri yang udah bunuh jiwa gue dari dalem."

Airell menjeda kalimatnya sebentar sembari menarik napas dalam-dalam. Pasokan udara di sekitarnya seolah menguap begitu saja. Menjadikan napasnya tiba-tiba sesak.

HI ANTAGONIST!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang