Karena Bakti

4.2K 444 18
                                    

Ketukan di pintu membuat Kiara segera merapikan rambutnya. Bergegas perempuan semampai itu bangkit dan membuka. Sejenak mata mereka bertatapan, tetapi tak lama kemudian Kiara memiringkan tubuhnya memberi jalan untuk pria jangkung di depannya.

Perpaduan aroma woody, black pepper dan citrus sangat menonjolkan aroma maskulin memanjakan penciuman Kiara.

"Sudah selesai ganti bajunya?"

Kiara mengangguk dengan mata mengikuti langkah pria berkemeja putih itu hingga mendaratkan tubuhnya di sofa.

"Hei, kenapa kamu berdiri aja di situ? Nggak capek seharian sampai malam berdiri?" tegur Arga sang suami.

Pandangannya beralih sejenak pada pria famous yang belakangan ini menjadi buah bibir akibat menuruti keinginan kedua orang tuanya untuk berpisah dengan sang kekasih.

"Ngelamun lagi? Tutup pintunya, Ara."

Kiara menelan ludah menyadari benar kata teman-temanya bahwa Arga bukan pria yang bisa diremehkan tampangnya. Sejenak dia terpukau menyaksikan pria itu, terlebih ketika terlihat beberapa kancing kemeja yang terbuka. Segera dia mengalihkan pandangan kemudian menutup pintu perlahan.

"Aku mau kita bicara! Duduk sini."

Ragu dia melangkah mendekat. Pria bermata elang itu menatap lekat kemudian menepuk ruang kosong di sebelahnya.

"Apa aku terlalu menakutkan bagimu?" Pertanyaan yang sungguh aneh dari pria berwajah tampan di sampingnya.

"Mendekat ke sini!" titahnya.

Tak ingin mendengar pertanyaan serupa, Kiara memangkas sedikit jarak duduk mereka.

"Kita sudah jadi suami istri yang sah bukan?"

Kiara mengangguk dengan menyungging senyum tipis.

"Ceritakan tentang kamu. Aku mau dengar!" Pria itu menyandarkan tubuhnya di sofa dengan tatapan mata mengarah ke Kiara.

"Nggak ada yang istimewa."

Arga menarik bibirnya ke samping. Dia sebenarnya tahu siapa Kiara Paramitha, selain perempuan Jawa yang sangat menghormati adat ketimuran, dia juga sangat menyukai kegiatan sosial. Tentu saja selain itu, Kiara adalah seorang pebisnis yang membawahi beberapa UKM di kotanya.

"Kamu sedang merendah?" sindirnya.

Perempuan yang memiliki rambut sepunggung itu menggeleng cepat.

"Memang nggak ada yang istimewa kok. Justru kamu yang luar biasa. Siapa yang nggak kenal Arga Lazuardi Atmajaya?"

Pria berhidung mancung itu menggulung lengan kemeja hingga ke siku. Dia tersenyum kecil mendengar ucapan perempuan yang baru saja diikatnya menjadi istri itu.

"Bagus kalau kamu tahu. Tentu kamu juga tahu ...."

"Kalau Arga memiliki seorang kekasih yang siap untuk dinikahi tetapi terbentur restu dan tradisi kepercayaan turun temurun sehingga terpaksa menyetujui usulan kedua orang tuanya untuk menikah denganku."

Mendengar Kiara menjelaskan dengan gamblang apa yang terjadi pada kehidupan asmara dia dan Astrid membuat pria itu memindai wajah sang istri.

"Mas tenang aja, aku sudah tahu semua. Ada baiknya kita bicara soal itu nanti. Sekarang katakan! Di mana aku istirahat malam ini."

Arga terlihat heran dengan tanggapan Kiara yang santai soal pernikahan mereka. Pria itu sebenarnya ingin menjelaskan tentang posisi Kiara. Arga ingin mengatakan bahwa dirinya tidak mencintai Kiara dan telah memiliki Astrid yang lebih dulu memenuhi hatinya.

"Kamu istirahat di ranjang. Nggak usah ke mana-mana. Ini kamar kita. Biar aku yang di sofa."

Kiara tersenyum tipis, dia kemudian bangkit menuju ranjang diikuti tatapan mata Arga yang tak lepas darinya.

"Kiara."

"Iya?"

"Mama sama Papa sudah menyediakan tiket untuk bulan madu. Apa kamu nggak pengin liburan?"

Kiara tersenyum tipis kemudian menggeleng.

"Aku nggak minat. Kalau kamu mau berlibur sama Astrid silakan saja."

Kiara merebahkan tubuh kemudian menarik selimutnya.

"Oh iya, aku nggak biasa tidur dengan lampu menyala. Boleh aku matikan lampunya?"

Arga menatap tajam padanya kemudian mengangguk.

"Silakan!"

"Thank you!" balasnya mencoba bersikap biasa saat menyadari Arga tak lepas memindainya.

Lampu telah mati, kamar beraroma bunga itu semakin dingin. Selain karena pendingin ruangan, cuaca di luar pun sedang gerimis.

Kiara semakin membenamkan kepalanya ke bantal. Perempuan bergelar sarjana sosial itu merasa matanya menghangat. Perlahan dia mengedipkan mata membiarkan genangan air matanya jatuh membasahi pipi.

"Kiara, percaya ke Mama. Kamu akan bahagia karena kami dan kedua orang tua Arga rida dengan pernikahan kalian. Mama yakin Arga pria yang baik. Dia sangat patuh pada orang tuanya. Pria yang patuh pada titah baik orang tua itu akan berdampak baik pada dirinya. Kamu harus percaya itu."

Terngiang kembali penuturan sang Mama saat itu. Kiara mungkin memiliki sudut pandang modern. Dia bisa saja mengajukan argumen untuk menolak. Akan tetapi, melihat betapa kedua orang tuanya menaruh harapan besar pada pernikahannya dengan Arga tak ada yang dia bisa perbuat selain mengikuti keinginan mereka.

"Lagipula, cinta akan tumbuh dengan sendirinya, Kiara," tutur mamanya kala itu.

Air mata Kiara semakin deras. Kamar luas itu seolah enggan memberi rasa nyaman di hatinya.

"Kamu anak bungsu dan satu-satunya anak perempuan kami. Kami ingin kamu mendapatkan yang terbaik!" Kali ini ucapan papanya muncul kembali.

"Iya, Kiara. Papa dan Mama pasti sudah banyak berpikir tentang Arga. Benar kata Mama, jika sudah ada keridaan dari kedua orang tua, maka jalan panjang sebuah pernikahan tak akan menemukan halangan yang berarti." Gilang kakak sulungnya ikut ambil bagian bicara.

Kiara menarik napas dalam-dalam. Sebenarnya dia tidak bisa tidur dalam keadaan gulita. Hanya saja dia tak ingin air mata dan guncangan di bahunya terlihat ketika dia terisak.

Sementara Arga menarik napas dalam-dalam seraya merebahkan tubuh di sofa. Kilas bayangan Astrid menari di kepalanya. Perempuan yang dipacarinya selama dua tahun itu begitu paham dengan apa yang terjadi. Meski sulit, Astrid berusaha menerima keputusan kedua orang tua Arga.

"Aku tetap menunggu saat itu hingga kapan pun, Arga. Aku mencintaimu!" tuturnya saat Arga mengungkapkan yang terjadi.

"Aku janji akan mengatakan hal yang sebenarnya pada perempuan yang akan kunikahi soal ini. Kiara adalah putri ...."

"Aku tahu, Arga. Aku pikir dia akan paham soal ini."

Mengingat hal itu, kembali Arga menarik napas dalam-dalam sambil mengusap wajahnya dia bangkit menuju pintu kemudian perlahan membukanya dan pergi setelah kembali menutup pintu.

Kiara yang mengetahui itu semua hanya mengusap pipinya yang basah.

"Selamat datang di dunia kepura-puraan. Mama, semoga apa yang Mama ucapkan benar-benar menjadi doa untukku," gumamnya di sela isak.

**

Titian Takdir (Sudah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang