"Kakak Kiara!" panggil seseorang berlari mendekat.
Dia orang anak kecil laki-laki, berusia sepuluh tahun dan satu lagi terlihat lebih kecil itu tampak gembira menyambutnya.
"Hai, Harun! Kak Niken sama Kak Fia sudah datang?"
"Baru saja, Kak!" jawab mereka bersamaan. "Sini kopernya, Kak. Kami bantu!"
Kiara menghela napas dalam-dalam. Wajahnya seperti terlepas dari beban berat saat melihat anak binaannya. Hingga tanpa disadari, Arga telah berada di sampingnya. Pria itu menatap bocah kecil yang tengah menyeret koper Kiara menuju ke satu gang sempit.
"Kamu yakin akan tinggal di sini?" Suara Arga membuatnya tersentak.
"Kamu kenapa belum pergi?"
"Kamu pikir aku begitu saja meninggalkan kamu tanpa tahu kamu di mana?"
Bibir Kiara tertarik singkat lalu membalikkan badan menghadap Arga.
"Mas, aku udah dewasa. Aku tahu di mana aku merasa nyaman. Pergilah! Nanti ketinggalan pesawat!"
Arga menarik napas dalam-dalam kemudian mengangguk.
"Kamu yakin di tempat ini?" tanyanya ragu.
"Tentu saja. Aku sangat yakin!"
Arga merogoh kantong celananya lalu mengeluarkan kunci.
"Ini kamu pegang. Kamu bisa ke rumah kita kapan pun kamu mau," tuturnya menyodorkan kunci ke Kiara.
"Nggak perlu, Mas. Aku nggak perlu itu."
"Aku tahu kamu nggak memerlukan ini. Mungkin kamu sudah punya rumah sendiri atau apartemen atau bahkan hotel atas namamu, tapi ini permohonan dariku, suamimu."
Kiara tertegun mendengar ucapan Arga. Pria dingin itu menyebut dirinya sebagai seorang suami.
"Terima kasih, tapi Mas bisa ajak aku nanti setibanya Mas dari berlibur," tolaknya kali ini dengan senyum.
"Ara, aku serius. Bawa kuncinya. Rumahku adalah rumahmu juga!"
Kiara menarik napas dalam-dalam kemudian mengangguk menerima benda itu
"Aku pergi dulu ya.
Tersenyum, Kiara mengangguk. Tanpa menunggu mobil Arga meluncur, dia segera meninggalkan tempat itu menuju gang kecil tempat dia dan rekannya mengisi waktu.
Sementara Arga melanjutkan perjalanan dengan perasaan bercampur aduk, antara merasa bersalah dan bahagia.
**
Di rumah singgah, Kiara diberondong pertanyaan oleh kedua rekannya. Seperti yang mereka tahu bahwa Kiara Paramitha menikah dengan Arga dilandasi karena perjodohan. Mereka tahu bagaimana hancur hatinya saat harus kehilangan Satria, pria yang dicintainya.
Namun, keputusan mendadak dengan menyetujui perjodohan bukan hal yang dipikirkan oleh Fia maupun Niken.
"Jadi kalian nggak tidur seranjang?" Mata Niken mengerjap ingin tahu.
Kiara mengangguk.
"Ara, kamu ini kadang aneh. Aku nggak habis pikir dengan semua keputusanmu akhir-akhir ini, tahu nggak!" Fia menimpali.
"Aneh? Apanya yang aneh, Fi?"
Fia menyelonjorkan kakinya dengan tubuh bersandar di dinding.
"Pertama, kesedianmu atau lebih tepatnya, kenekatan kamu menerima perjodohan padahal kamu sangat paham kalau dia sudah memiliki kekasih."
Menarik napas dalam-dalam Fia kembali bersuara.
"Kedua, kamu menikah dengan alasan yang mungkin Mama atau Papa kamu nggak bakal nyangka!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Titian Takdir (Sudah terbit)
Roman d'amourMencintai dan dicintai adalah impian siapa pun. Akan tetapi, apa yang dilakukan ketika mimpi itu harus pupus karena takdir? Kiara Paramitha harus menepikan perasaannya demi memberi bahagia untuk keluarganya. Demikian pula dengan Arga. Pria yang sang...