Kiara diam, dia lalu menarik napas dalam-dalam.
"Aku boleh keluar sekarang? Mas sudah selesai bicara?"
Arga kembali meraih tangan Kiara. Dia menggeleng lalu berkata, "Aku masih rindu. Apa kamu nggak merasakan hal yang sama? Apa ada yang membuatmu nyaman saat ini?"
Pertanyaan macam apa yang dilontarkan Arga. Sungguh! Andai Arga tahu dia pasti akan tertawa melihat ulahnya yang seringkali diam menatap ponsel hanya untuk mengulang-ulang membaca semua pesan pria itu.
"Ra. Katakan! Apa ada orang yang membuatmu bahagia saat ini?"
Kiara tak menyahut.
"Siapa pria yang bersama Mas Angga, Ra?"
"Kenapa?" tanyanya menatap Arga.
"Aku ingin tahu. Aku nggak suka caranya menatapmu! Sama seperti cara Rendra menatapmu! Aku suamimu, Ra!"
Kiara menarik napas dalam-dalam.
"Mereka semua temanku. Mereka semua memperlakukan aku dengan baik sejauh ini," balas Kiara.
"Aku merasa kamu nggak memiliki perasaan seperti aku merindukanmu. Melihat kamu tertawa dengan mereka, aku merasa ...."
"Aku hanya ingin melindungi hatiku, Mas. Jangan pernah tanyakan itu sebelum Mas bisa menyelesaikan kemelut ini. Aku nggak mau kembali sedih karena kehilangan seperti yang dulu."
Arga menyelipkan rambut Kiara ke belakang telinga. Hati kecilnya bersorak mendengar kalimat terakhir yang diucapkan perempuan itu. Kiara tidak mau kehilangan untuk yang kedua kalinya. Berarti, meski masih samar, dia tahu perempuan itu juga memiliki perasaan yang sama dengannya.
"Apa itu artinya kamu takut kehilangan aku? Apa itu artinya kamu mencintaiku?"
Kiara bergeming kembali.
"Kamu nggak perlu takut kehilangan, Ra," tuturnya lembut.
"Mungkin aku nggak bisa menggantikan Satria, tapi setidaknya aku akan berusaha untuk membuat harimu nggak sedih lagi."
Mendengar nama Satria, Kiara memindai wajah Arga dengan tatapan heran.
"Aku bahkan iri dengan dia karena kamu sangat mencintainya. Dia pasti sosok istimewa buatmu," ujarnya seraya tersenyum.
Kiara tak menjawab. Dia kembali menatap ke depan. Dia tak ingin bertanya dari mana Arga tahu soal Satria. Baginya pria itu tahu masa lalu dia dan Satria sudah cukup.
"Bicaranya sudah selesai, kan? Sebaiknya Mas pulang."
"Kamu marah, Ra? Maaf kalau ucapanku ada yang salah."
"Nggak, Mas. Nggak ada yang salah. Setiap orang tidak diciptakan sama. Setiap orang memiliki keistimewaan masing-masing. Mas Satria memang memiliki keistimewaan, tetapi orang lain juga memilikinya meski dalam bentuk berbeda."
"Orang lain? Apa yang kamu maksud orang lain itu aku? Apa aku masih kamu anggap orang lain, Ra?"
Kiara menatap Arga seraya menggeleng.
"Mas itu suamiku untuk saat ini, bukan orang lain. Aku hanya bicara secara luas tentang keistimewaan," balasnya kali ini bibirnya melebar.
"Bukan hanya untuk saat ini, Ra. Tapi untuk selamanya. Boleh aku minta kamu ucapkan sekali lagi? Ucapkan kalau aku suamimu,"
Kening perempuan yang mengenakan baju terusan berwarna biru gelap itu berkerut.
"Kenapa aku harus mengucapkan sekali lagi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Titian Takdir (Sudah terbit)
عاطفيةMencintai dan dicintai adalah impian siapa pun. Akan tetapi, apa yang dilakukan ketika mimpi itu harus pupus karena takdir? Kiara Paramitha harus menepikan perasaannya demi memberi bahagia untuk keluarganya. Demikian pula dengan Arga. Pria yang sang...