Arga mendengkus meletakkan ponselnya ke meja. Dia lalu menghempaskan tubuhnya ke sofa seraya menahan rasa nyeri di dekat mata.
Mencoba memejamkan mata menahan emosi yang bercampur aduk di kepala, tetapi Arga justru semakin gelisah. Ucapan adiknya tentang seorang pengecut tidak salah, tetapi dia belum siap jika anggota keluarganya mengetahui akan hal itu. Penuh tepatnya dia tak ingin secepat itu mereka tahu.
"Sial! Aarrgh!" Arga bangkit dengan tangan terkepal.
Kembali dia meraih telepon genggam, mencoba meminta agar Kiara segera pulang, tetapi hatinya teringat bahwa perempuan itu sedang sibuk dan tak mau diganggu. Mengembuskan napas dalam-dalam, Arga bangkit melangkah ke kamar.
"Oke, aku yang ke kantormu, Ra!" gumamnya sambil melepas kemeja yang sejak kemarin menempel di badan.
Berkaus polo putih, celana jeans dan kaca mata hitam Arga terlihat gagah. Pria itu tampak segar tak seperti tadi. Menyapu ruangan, matanya seperti merindukan sosok Kiara di sana.
Perempuan itu senang berlama-lama di dapur jika jenuh dengan pekerjaannya. Senyum sambutan setiap dia datang dari kerja atau ketika mereka saling berbicara, membuat bibir Arga terangkat saat mengingatnya.
Namun, sejenak Arga menggeleng. Dia kembali duduk di sofa ruang tengah. Kunci mobil yang sedianya akan dia kantongi, kembali di letakkan di meja.
Pesan dari Kiara membuat dirinya ragu untuk menemui perempuan itu di kantornya.
"Sudah siang, apa dia sudah makan siang? Tapi kenapa aku jadi demikian khawatir padanya? Bukankah dia melayaniku hanya karena sandiwara yang kubuat? Semua itu dia lakukan hanya karena sebuah kesepakatan?" gumamnya.
Arga menatap kamar Kiara. Keningnya mengerut ketika menyadari pintu kamar itu tak terkunci. Ada celah sedikit yang membuat dirinya tertarik untuk menghampiri.
Bak seorang pencuri, perlahan Arga membuka kamar sang istri. Aroma citrus menguar di kamar itu. Segar dan sangat wangi. Arga memejamkan mata seolah ingin menghirup semua aroma hingga tak bersisa.
Meski dia beberapa kali masuk ke kamar Kiara, tetapi tak pernah begitu detail memperhatikan setiap benda yang ada di ruangan itu. Rapi, harum, dan sangat teratur, itulah kesan pertama yang dirasakan Arga.
Kembali dia melangkah, kali ini ke ranjang ukuran queen yang berlapis sprei warna gading. Matanya menyipit saat melihat pigura kecil dengan posisi tertelungkup di samping bantalnya.
Dia mulai bertanya-tanya dan sangat ingin tahu. Meski awalnya Arga mencoba abai, tetapi hatinya mendorong agar dia mengambil pigura itu.
Seorang pria dengan seragam loreng tengah tersenyum. Seketika mata Arga menyipit, ada rasa berbeda ketika menyadari sang istri menyembunyikan sesuatu yang menurutnya harus dia ketahui. Rasa itu berbeda, bukan marah, tetapi rasa aneh yang perlahan menelusup yang dia sendiri tak mengerti apa.
"Siapa dia? Kenapa Kiara membawanya ke tempat tidur dan ... kenapa aku nggak pernah lihat wajahnya di circle pertemanan dia selama ini?" gumamnya dengan kening berkerut.
Arga membalik-balik benda itu, seperti ingin mencari petunjuk. Namun, tentu saja sia-sia, karena tak satu pun bisa dijadikan petunjuk.
Lama diam di kamar sang istri, tiba-tiba dia seperti teringat sesuatu. Pria itu merogoh kantong celana mengeluarkan ponsel. Dengan tergesa-gesa dia mengetuk satu aplikasi berlambang mata kamera.
"Apa nama instagramnya?" bisiknya seraya mencoba mengetik nama Kiara.
Wajahnya muram karena tak menemukan akun sang istri. Tak yakin perempuan yang cukup famous dan seaktif sang istri tidak memiliki akun di Instagram. Mendadak dia ingat nama yayasan yang dikelola Kiara. Dia yakin akan menemukan apa yang dicari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titian Takdir (Sudah terbit)
RomanceMencintai dan dicintai adalah impian siapa pun. Akan tetapi, apa yang dilakukan ketika mimpi itu harus pupus karena takdir? Kiara Paramitha harus menepikan perasaannya demi memberi bahagia untuk keluarganya. Demikian pula dengan Arga. Pria yang sang...