Bimbang

2.8K 365 14
                                    


Astrid menggenggam erat tangan Arga saat ibunya diturunkan ke liang lahat.air mata terus keluar dari matanya. Kepergian mendadak karena satu-satunya orang yang disayang dan menyayanginya membuat Astrid menjadi sebatang kara. Serangan jantung telah membuat sang ibu dijemput ajal.

"Sabar, Astrid. Ibumu sudah berada bersama Tuhan saat ini," tutur Arga mencoba menguatkan. "Kamu harus kuat."

Perempuan berkerudung hitam itu mengusap air mata. Tak ada kalimat yang keluar dari bibirnya. Dia sama sekali tak pernah menyangka secepat itu ibunya pergi. Banyak keinginan sang ibu yang belum dia wujudkan. Salah satunya tentu saja menikah.

Dulu sebelum kemalangan asmara menimpa, Retno--ibu Astrid begitu bahagia melihat hubungan dia dan Arga. Terlebih ketika Arga mengatakan akan mempersunting dirinya. Kebahagiaan sang ibu membuncah, hingga Retna sudah membayangkan bagaimana kelak jika dirinya memiliki seorang cucu.

Namun, impian itu harus kandas. Harapan tentang indahnya pernikahan sang putri harus pupus. Hancurnya hati Astrid tak sehancur hati Retno. Siang malam perempuan paruh baya itu sering menyembunyikan tangis memikirkan nasib putrinya.

Meski Astrid berkali-kali menegaskan bahwa Arga tetap akan menikahinya, tetapi sebagai ibu dia tahu hal itu jauh dari kata mungkin.

Kini sang ibu sudah kembali ke pangkuan Tuhan. Astrid merasa ibunya meninggalkan dengan membawa bongkahan kecewa karena keinginan yang tertunda. Mengingat itu, Astrid merasa memiliki kekecewaan yang amat dalam. Kecewa pada dirinya sendiri dan tentu saja pada takdir yang menurut dia telah menghancurkan semua impian dia dan ibunya.

Rengkuhan di bahunya membuat Astrid menoleh. Pria berkacamata hitam yang begitu dia cintai tengah tersenyum padanya.

"Kita pulang ya. Kamu butuh istirahat."

Perempuan berkulit sawo matang itu mengangguk pelan. Mereka berdua berjalan beriringan meninggalkan rumah peristirahatan terakhir Retno dengan paras berduka.

Arga menarik napas dalam-dalam kemudian menyalakan mobilnya.

"Ga."

"Iya?"

"Temani aku ya. Setidaknya malam ini. Aku udah nggak punya siapa-siapa lagi, Ga. Aku cuma punya kamu," pintanya lirih.

Kembali pria di balik kemudi itu menarik napas dalam-dalam.

"Iya. Aku temani kamu, tapi aku tetap harus pulang nanti."

Astrid mendengkus memalingkan wajahnya ke luar jendela. Hatinya seperti disayat mendengar jawaban yang tak diinginkan dari pria itu. Sementara Arga tahu perempuan di sampingnya itu kesal.

"Astrid, kamu tahu, kan posisiku? Aku pulang, paginya aku bisa menemani kamu lagi. Kamu jangan seperti itu dong. Aku janji temani kamu!"

Bergeming, Astrid tetap pada posisinya. Arga lalu menginjak gas dan mengemudikan mobilnya membawa mereka berdua menuju kediaman Astrid.

**

[Sudah tidur?]

[Belum.]

[Jangan tidur terlalu malam. Ingat pesan dokter.]

[Iya.]

Arga menunggu Kiara bertanya kenapa dia tidak pulang, tetapi perempuan itu tak lagi online. Menarik napas dia kembali mengetikkan pesan.

[Aku pulang mungkin larut malam. Kamu nggak usah tunggu aku. Sekarang istirahat, Ra.]

Tak ada tanda pesannya dibaca, meski terbaca bahwa istrinya itu kembali online. Hati Arga sedikit gusar karena menganggap Kiara tak peduli dengan pesannya. Tiba-tiba dia teringat pada sosok Rendra yang membuatnya kesal.

Titian Takdir (Sudah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang