Kiara baru saja keluar dari kamar mandi saat Aini mengabarkan ada seseorang di ruang tamu. Kiara mencepol rambutnya lalu merapikan baju kemudian menuju ruang tamu. Matanya membulat saat melihat Arga sudah duduk di sana dengan ekspresi yang sulit ditebak.
"Mas Arga?"
"Kemarin kamu ke mana? Kenapa teleponmu nggak bisa dihubungi?" tanyanya tegas.
Sejenak Kiara menyipit kemudian duduk di sofa yang berseberangan dengan pria itu.
"Maaf, Mas. Kemarin aku nggak pegang ponsel sama sekali karena ...."
"Karena kamu sibuk dengan pria yang bernama Rama itu! Iya, kan?"
Wajah Kiara pias mendengar ucapan Arga. Dari mana dia tahu jika dirinya kemarin bersama Rama? Tetapi bukankah bukan hanya bersama Rama? Ada Angga juga di sana?
"Mas kok bicaranya begitu, sih?"
Arga bergeming lalu menunjukkan foto-foto di galeri yang dikirim Astrid ke ponselnya.
"Aku nggak nyangka! Ternyata ini alasan kamu nggak bersedia pulang ke rumah kita?" Arga menyeringai. "Ternyata karena pria teman kakakmu itu, kan?"
"Mas! Mas tahu dari mana kalau aku ...."
"Kamu pikir dengan memberi jeda kamu bisa bebas dekat dengan pria lain begitu? Atau jangan-jangan justru kamu yang sedang merencanakan sesuatu untukku?"
Mata Kiara kembali membulat, keningnya tampak berkerut dan bibirnya bergetar.
"Mas Arga! Cukup! Apa yang ada dalam pikiran Mas Arga itu murahan! Jahat!"
"Tega Mas bilang begitu ke aku, Mas?"
Arga masih memindai Kiara yang tersulut emosi. Meski sebenarnya dia tidak yakin jika Kiara telah mengkhianatinya, tetapi melihat foto-foto yang dikirimkan Astrid telah berhasil membuatnya mendidih.
"Lalu kenapa kamu nggak kasi kabar aku kalau kamu sakit atau ... apalah itu?"
Kiara memalingkan wajahnya. Biar bagaimanapun ada sesuatu di rahimnya yang dititipkan Tuhan. Sesuatu yang begitu suci lahir dari rasa indah dari mereka berdua. Arga adalah pemiliknya, meski pria itu kini tengah diliputi amarah.
"Kenapa diam, Ra? Aku suamimu. Aku berhak tahu apa yang terjadi kemarin!"
"Tolong Mas, rendahkan suaramu. Dengarkan aku dulu. Tolong jangan seperti orang bodoh yang beberapa waktu lalu datang ke kantor."
Arga menyipit. Matanya tak lagi berkilat amarah seperti tadi.
"Orang bodoh? Siapa maksudmu?"
Kiara menyerahkan ponselnya dan menyalakan perekam.
"Aku mengatakan orang bodoh karena hanya orang bodoh yang datang ke kantor, berteriak-teriak membicarakan soal kehidupan pribadinya yang sama sekali tidak ada hubungannya denganku."
"Dengarkan. Dengarkan siapa yang datang ke kantor dan apa yang dia katakan! Setidaknya sebagai manusia, kita harus bisa untuk tidak kembali jatuh pada kesalahan yang sama!"
Arga menekan tombol menyalakan rekaman di ponsel Kiara. Terdengar suara Astrid jelas di sana sedang menumpahkan amarahnya. Semuanya didengar oleh Arga dan sesekali dia menatap Kiara, hingga selesai rekaman suara itu.
"Dia lagi!" gumamnya.
"Lalu katakan dari mana Mas dapat foto-foto itu? Apa yang membuat Mas begitu mudahnya percaya pada kesimpulan nggak masuk akal itu?"
Arga menarik napas dalam-dalam. Lagi-lagi dia harus mengakui kesalahan. Beruntung Kiara cukup bijak menyikapi letup amarahnya.
"Kenapa diam, Mas? Atau Mas sengaja mengikuti dan memata-mataiku? Untuk apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Titian Takdir (Sudah terbit)
Любовные романыMencintai dan dicintai adalah impian siapa pun. Akan tetapi, apa yang dilakukan ketika mimpi itu harus pupus karena takdir? Kiara Paramitha harus menepikan perasaannya demi memberi bahagia untuk keluarganya. Demikian pula dengan Arga. Pria yang sang...