Kecewa

3.8K 392 16
                                    



Arga mengawasi gerak-gerik sang istri dari ruang makan. Perempuan yang rambutnya masih terlihat sedikit basah itu seolah berusaha menghindar darinya. Padahal semalam di antara mereka telah terjadi sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

"Kamu baik-baik aja, kan, Ra?" tanyanya saat Kiara meletakkan sandwich untuk Arga di meja.

"Baik, Mas," jawabnya sambil menuangkan lemon hangat untuk sang suami.

"Nggak ke kantor?" tanyanya lagi.

Perempuan itu menggeleng lalu berkata, "Nanti siangan aku berangkat."

Baru saja Kiara hendak duduk di kursinya, Arga menahan pergelangan tangannya.

"Mau ke mana? Duduk di sini, di sampingku."

Menarik napas dalam-dalam, Kiara tak membantah.

"Kenapa kamu seperti menghindariku, Ra?" Arga meraih jemari sang istri lalu menggenggam erat. "Apa karena malam tadi aku ...."

Kiara menggeleng cepat.

"Nggak perlu dibahas soal itu. Lupakan!" Kiara menepis tangan suaminya.

Menyesal. Kiara tengah berada di titik sesal karena kesalahan yang dia buat sendiri. Tunggu! Kesalahan? Apanya yang salah dari kejadian malam tadi? Bukankah itu hal yang lumrah bahkan sebuah kewajiban bagi suami istri?

Kiara menarik napas dalam-dalam. Matanya terasa panas dan berat, demikian pula dengan hatinya seolah diremas hancur. Mungkin bukan kesalahan, tetapi waktu dan kejadian itu sama sekali bukan pada saat yang tepat.

"Ra! Maksud kamu?" protesnya mencoba kembali meraih tangan Kiara. "Kamu menyesal, Ra? Malam tadi kamu nggak ...."

"Aku nggak menyesal, Mas. Cuma mungkin memang seharusnya dilupakan!" tegasnya menatap ke arah lain.

"Nggak, Ra! Dilupakan? Bagaimana mungkin melupakan hal yang ...."

Arga menggantung kalimatnya. Batinnya merasa dipenuhi beragam rasa. Perasaan yang seharusnya bahagia mendadak menjadi bertolak belakang yang sama sekali tak disangka.

Awalnya dia berpikir pagi ini adalah jadi hari baru awal hidupnya, tetapi melihat reaksi Kiara, kini Arga merasa bersalah. Pria itu mengusap wajahnya kemudian mengembuskan napas kasar.

"Maaf kalau ... aku rasa maaf aja mungkin nggak cukup, tapi aku ...." Arga menghentikan ucapannya.

Masih dengan tangan menggenggam jemari Kiara.

"Sudah saatnya kita bicara ke orang tuaku. Aku akan selesaikan semuanya termasuk Astrid."

Kiara menoleh menatap sang suami. Mencari kesungguhan di parasnya. Akan tetapi, sayangnya dia belum bisa memastikan apa yang diucapkan Arga benar adanya.

Dia paham dengan posisinya. Jauh sebelumnya Kiara sudah mencoba membangun tembok agar hal yang dikhawatirkan tidak terjadi, tetapi nyatanya dia sendiri yang memporak-porandakan tembok itu.

"Aku harap kamu nggak keberatan memberi kesempatan dan tempat untukku, Ra. Please, jangan pernah memintaku untuk melepasmu."

Dada Kiara terasa semakin sesak. Tak ingin tangisnya tumpah di depan Arga, Kiara menarik tangannya dari genggaman Arga, lalu bangkit.

"Aku lupa sandwich Mas belum ada kejunya. Sebentar aku ambil," tuturnya melangkah ke dapur.

Arga kembali menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan. Dia tahu Kiara tengah menyembunyikan tangisnya, dan itu semua karena dia! Kali ini dia merasa Damar benar. Dirinya memang pecundang! Sial!

Titian Takdir (Sudah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang