Sebuah Keputusan

3.5K 402 8
                                    


Atma menatap menantunya.

"Bicaralah, Kiara. Papa dengarkan!"

Menarik napas dalam-dalam, Kiara menatap Arga. Pria itu juga tengah menatapnya dengan tatapan memohon. Kepalanya terlihat menggeleng pelan.

"Maafkan Kiara kalau nanti mungkin Mama juga Papa terkejut, tapi ...."

"Maaf, Nyonya, Tuan, ada tamu keluarganya Mbak Kiara," Mbok Inah datang tergopoh-gopoh dari pintu depan.

Atma mengangguk.

"Ayo, Ma! Kita ke depan menyambut mereka!" ajaknya menatap sang istri. "Kiara, kamu bisa lanjutkan nanti apa yang ingin kamu sampaikan."

"Iya, Pa."

"Dan kamu, Arga! Apa pun keputusan mereka terhadap kalian, Papa nggak bisa mencegah! Karena bagaimanapun kamu bersalah!"

Arga bergeming. Dia memang tidak punya alasan apa pun untuk mengehentikan apa yang sudah terjadi selain berharap semoga keluarga Kiara tidak memisahkan mereka.

"Kiara! Maafkan aku, tapi aku tadi mengatakan yang sesungguhnya kalau aku benar-benar hanya makan siang dan ingin memutuskan hubungan dengan Astrid, Ra!" ujar Arga membela diri setelah kedua orang tuanya meninggalkan tempat itu.

Dia lalu bangkit mendekati Kiara, tetapi perempuan itu menjauh.

"Ra," mohonnya mencoba meraih tangan sang istri, "please, aku mohon kamu mau mendengarkan penjelasanku, Ra. Aku sudah memikirkan ini semua!"

Kiara menggeleng pelan.

"Mas, mungkin sebaiknya harus begini. Dengan mereka tahu yang sebenarnya, akan lebih mudah untuk Mas juga untuk aku pisah."

Arga menatap Kiara dengan kening berkerut.

"Kiara. Jadi kamu benar-benar ingin berpisah? Setelah ...." Arga mengusap wajahnya frustrasi.

Kiara menahan gerak bibirnya, saat keluarganya muncul bersama dengan kedua mertuanya.

"Kiara!" Liara menghampiri lalu memeluk erat putrinya. "Kamu nggak apa-apa, Sayang?" tanyanya seraya mengusap lembut puncak kepala Kiara.

"Nggak apa-apa, Ma," sahutnya tersenyum.

Atma mempersilakan besannya untuk duduk dan menitahkan agar Mbok Inah membuatkan minuman untuk mereka.

"Maafkan kami, Pak Heru. Ini semua memang murni kesalahan putra kami, jadi ... seperti yang kita bicarakan kemarin, semua kami serahkan kepada keputusan Bapak sekeluarga," ucap Atma dengan wajah sedih dan kecewa.

Heru mengangguk kemudian menatap Arga yang sejak tadi diam setelah menyalami dia dan sang istri.

"Arga, kami mungkin terlalu banyak berharap padamu sejak awal. Kami benar-benar berharap kebahagiaan bisa didapatkan Kiara." Heru menarik napas dalam-dalam.

"Kami sangat mencintainya. Begitu juga dua kakaknya. Maka saat kami mengetahui Kiara memutuskan untuk menutup hati setelah kepergian Satria ... di situ kami khawatir," sambungnya seraya menatap putrinya yang duduk diapit Dira dan Liara.

"Mungkin bagian ini kami atau Kiara tidak pernah menceritakan secara gamblang padamu juga pada Pak Atma dan Bu Dira, tetapi kami bahagia setelah tahu putri kami setuju dengan perjodohan itu."

"Itu artinya, dia mau belajar menerima kenyataan yang telah lama belum bisa dia sembuhkan. Hal itu yang membuat kami percaya Kiara akan kembali seperti Kiara putri kami yang dulu."

Ruangan sepi sejenak. Masing-masing dari mereka seolah menunggu cerita Heru dilanjutkan. Kecuali Kiara. Perempuan itu melipat wajahnya menyembunyikan luka.

Titian Takdir (Sudah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang