Arga bergeming, dia menatap lekat wajah istrinya.
"Kamu nggak apa-apa, kan, Ra?" tanyanya heran.
"Aku cuma pengen istirahat, Mas. Boleh, kan?"
Mengangguk lalu Arga melangkah keluar.
"Good night, Mas," tuturnya kemudian menutup pintu.
"Good night, Ra," balasnya lirih.
Arga lalu menuju ruang makan untuk mengambil ponselnya. Pria itu menarik napas panjang melihat beberapa misscall dari orang yang sama.
"Karena ini, Ra? Karena panggilan ini sikapmu berubah secepat itu?" gumamnya seraya memijit pelipisnya.
Pria itu lalu mengetikkan sesuatu pada ponselnya. Tak lama benda itu berdering kembali.
"Ada apa, Astrid? Please aku kan udah bilang, tolong selama tiga bulan kita tidak perlu berkomunikasi intens."
"Iya, aku tahu, tapi aku nggak bisa, Ga! Kamu pikir aku boneka yang nggak punya perasaan apa?"
Arga berjalan ke ruang tengah dan menghempaskan tubuh ke sofa.
"Astrid, tolong jangan buat aku marah. Kamu bisa, kan?"
Terdengar isak di seberang. Arga kembali menarik napas dalam-dalam.
"Sudah, jangan nangis. Aku minta kamu jangan berpikir yang bukan-bukan. Sekarang kamu tidur ya."
"Ga."
"Ya?"
"Kamu nggak bohongin aku, kan?"
"Astrid, sudahlah aku capek kamu terus menanyakan hal yang sama."
"Tapi tiga bulan itu waktu yang lama, Arga! Kamu mau bikin aku gila apa!" Suara Astrid terdengar meninggi. Kemudian kembali terdengar isakan darinya.
Mendengar itu, tampak rahang Arga mengeras. Satu sisi Astrid tidak salah,tiga bulan bukan waktu sebentar setelah sekian lama mereka selalu bersama, tetapi di sisi lain, Kiara adalah perempuan baik yang terpaksa dia beri luka.
Arga hanya ingin membuat istrinya itu rasa nyaman hingga mereka benar-benar berpisah nantinya. Namun, hati kecilnya yang balik bertanya, benarkah hanya rasa nyaman?
"Kamu jahat, Arga! Kamu egois. Aku nyesel udah setuju dengan kesepakatan itu! Kenapa kamu nggak mempertahankan cinta kita? Kenapa?"
Menarik napas dalam-dalam, Arga memejamkan mata sejenak.
"Astrid. Kita udah udah bahas soal ini berkali-kali, kan? Aku juga sudah membuktikan bahwa aku serius dengan membawamu pergi berlibur waktu itu. Sekarang aku minta kamu bersabar hingga tiga bulan ini selesai. Please!"
Isakan di seberang terdengar mereda.
"Oke, tapi biarkan aku bertemu kamu setidaknya di akhir pekan, Ga! Aku kangen kamu!"
Membuang napas kasar, Arga berkata, "Iya, tapi jangan paksa aku jika ternyata aku ada janji dengan keluargaku."
"Oke. Asal cinta kamu buatku, bukan buat perempuan itu!"
Obrolan diputus oleh Astrid. Arga mengembuskan napas dalam-dalam kemudian mengusap wajahnya.
Mata pria beralis tebal itu menatap pintu kamar Kiara yang tertutup rapat. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin dia perbincangkan malam ini dengan perempuan itu. Terutama soal pemakaman dan siapa Satria.
**
Aroma butter dan keju yang meleleh menguar di dapur. Pagi itu Kiara terlihat lebih segar. Sengaja dia menyibukkan diri di dapur setelah merawat tanaman di halaman rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titian Takdir (Sudah terbit)
RomanceMencintai dan dicintai adalah impian siapa pun. Akan tetapi, apa yang dilakukan ketika mimpi itu harus pupus karena takdir? Kiara Paramitha harus menepikan perasaannya demi memberi bahagia untuk keluarganya. Demikian pula dengan Arga. Pria yang sang...