Tak menunggu jawaban dari Arga, Kiara mengayun langkah ke ruang tengah. Arga mengikuti."Mas sudah makan?" tanyanya lagi.
"Belum."
Menarik bibirnya, Kiara berniat menuju dapur. Akan tetapi lengannya di tahan oleh Arga, hingga badannya berbalik menghadap pria itu tanpa jarak. Keduanya bergeming saling bertukar pandang. Menyelami kedalaman tatapan satu sama lain.
Kembali berdekatan seperti ini membuat Kiara merasa wajahnya memanas. Tidak! Dia tidak sedang menikmati rasa itu. Namu, Kiara juga khawatir detak jantungnya yang bertalu lebih keras terdengar oleh pria itu.
Pelan Arga memberanikan diri untuk menyingkirkan anak rambut yang berserak di dahi sang istri. Sementara Kiara justru menyipitkan matanya menatap dari dekat pelipis pria di depannya.
"Mas kenapa? Kenapa memar dan bengkak pelipisnya?" tanyanya khawatir masih di posisi tak berjarak. "Udah dikompres? Udah diobati?"
Arga menggeleng seraya menempelkan telunjuk ke bibir Kiara. "Ssstt," tuturnya dengan mata mengunci sang istri.
"Apa harus sedekat itu kamu dengan dia?" tanyanya.
Kening Kiara mengerut.
"Dia?"
"Iya. Pria itu."
"Rendra maksudnya?"
"Siapa lagi? Aku merasa matanya menyiratkan sesuatu saat memandangmu," jawabnya dengan suara berat.
"Kenapa kalau aku sedekat itu? Nggak ada yang salah, kan?"
Jawaban Kiara menyudutkannya. Arga menahan tubuh sang istri, ketika Kiara bergerak hendak menjauh. Lagi! Hal itu terjadi, jantungnya hampir tak bisa diajak kompromi.
Kiara terlalu takut jika detaknya terdengar. Tidak! Kiara tak boleh lemah hanya dengan perlakuan manis Arga. Tunggu! Perlakuan manis saja atau ada aroma cemburu di dalamnya? Cemburu? Nggak! Memangnya ada urusan apa Arga cemburu padanya?
"Mas, berhenti! Jangan bersikap aneh seperti ini. Kita tidak terikat hubungan emosional apa pun selain perjanjian yang kita sudah sepakati, kan? Jadi tolong berhenti bersikap aneh seolah-olah kita suami istri yang sesungguhnya!"
Lagi-lagi Kiara mencoba melepaskan diri dari cekalan tangan suaminya. Namun, dia tak berhasil. Sementara Arga tak melepas pandangannya ke paras Kiara.
Pria itu mencoba mencerna perkataan istrinya. Mendadak ada rasa ingin memiliki perempuan itu lebih dari saat ini.
Ada naluri kelelakiannya yang memberontak ingin meleburkan diri menjadi satu dengan Kiara. Akan tetapi, bukankah perjanjian sudah disepakati? Kiara benar, mereka tidak memiliki hubungan emosional sebagaimana pasangan pada umumnya. Ah, mendadak dia merasa benar-benar menjadi seorang pecundang.
Cemburu? Benarkah dia cemburu? Tunggu! Bukankah dia hanya tidak suka melihat tatapan mata Rendra kepada istrinya? Kalau bukan cemburu, lalu apa?
Arga menarik napas dalam-dalam.
"Ra, kita bukan hanya seolah-olah seperti yang kamu bilang barusan. Kamu tahu kau kita suami istri yang sah dan ...."
"Dan apa?" potong Kiara kali ini sedikit menjauhkan wajahnya. "Jangan pernah mencoba meminta sesuatu jika hati Mas tidak berada di tempat yang sebenarnya."
Kembali Arga tersindir dengan perkataan Kiara. Entah kenapa semakin hari dirinya semakin merasa ingin sepenuhnya memiliki perempuan itu, meski dia belum bisa melepaskan Astrid. Mengingat Astrid, mendadak hatinya dilema.
"Cukup, Mas. Mas bilang Mas belum makan, kan? Aku buatin sesuatu untuk Mas," ujarnya kembali berusaha melepaskan diri.
Kali ini perlahan Arga melepaskan cekalan tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titian Takdir (Sudah terbit)
Roman d'amourMencintai dan dicintai adalah impian siapa pun. Akan tetapi, apa yang dilakukan ketika mimpi itu harus pupus karena takdir? Kiara Paramitha harus menepikan perasaannya demi memberi bahagia untuk keluarganya. Demikian pula dengan Arga. Pria yang sang...