Resah

3K 356 7
                                    


Sepanjang jalan menuju kantor, Arga tak tenang. Ucapan Astrid melekat diingatannnya. Hari ini dia akan kembali melakukan pertemuan dengan beberapa rekan bisnis untuk memperluas usahanya.

Beberapa waktu lalu, papanya menelepon akan ada kerjasama dengan papa Kiara untuk membahas rencana pembangunan showroom plus kafe yang rencananya akan di dirikan di tengah kota.

Pertemuan dengan mertuanya dan membahas soal bisnis adalah kali pertamanya. Tentu akan sangat canggung terlebih jika nanti sang mertua menanyakan beberapa hal soal sang istri yang dia sangat ingin hindari.

Mobilnya baru saja diparkir di depan sebuah rumah makan saat ponselnya berdering.

"Sampai di mana kamu, Ga?" Suara papanya terdengar tegas.

"Ini sudah sampai, Pa. Arga parkir dulu."

"Cepat! Kamu tahu, kan waktu itu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya jika di dunia bisnis seperti ini!"

Menarik napas panjang, Arga menjawab, "Ya, Pa!"

Melangkah masuk, dari jauh dia sudah mencoba menenangkan diri. Tampak sang papa dan papa mertua sudah menunggu kedatangannya. Menarik bibir lebar dia melangkah mendekat.

Seperti biasa, berjabatan tangan adalah hal penting sebelum melanjutkan pada pertemuan dan pembahasan selanjutnya.

Heru --mertuanya menatapnya sejenak. Matanya seperti mencari jawaban soal memar yang masih terlihat di pelipisnya.

"Kamu kenapa, Arga? Itu ...."

Tahu akan ditanya seperti itu, Arga tersenyum menyentuh tempat memar di pelipisnya.

"Nggak, Pa. Kemarin sempat terbentur waktu di mobil."

"Di mobil? Kamu kenapa kok bisa sampai terbentur di mobil? Kamu ...." Atma menimpali.

"Nggak apa-apa, Pa. Jadi kemarin mobil Arga sedikit rewel gitu, terus Arga coba benerin dan ya ... begini jadinya," tuturnya beralasan.

Atma menatap putranya heran. Anak sulungnya itu tak terbiasa mengutak-atik mobil. Terlebih jika mobil itu bermasalah. Arga lebih suka langsung membawanya ke bengkel.

"Sejak kapan kamu bisa memperbaiki mobil sendiri?" selidik Atma.

Arga tersenyum masam. Kenapa dia bisa lupa sedang berhadapan dengan papanya yang sangat tahu kebiasaanya? Sial! Ini pasti akan menimbulkan kecurigaan. Arga menarik napas dalam-dalam mencoba tetap tenang.

"Eum ... Papa, Arga, kan cuma pengin tahu apa yang jadi masalah di mobil Arga. Tapi sekarang udah nggak apa-apa kok, Pa."

Kedua pria paruh baya itu masih memindainya dengan tatapan aneh. Walau bagaimanapun mereka mencium ada sesuatu yang disembunyikan Arga.

"Jadi, lebih baik kita lanjutkan aja agenda meeting hari ini. Gimana, Pa?" ujarnya menatap kedua pria yang menatapnya seolah menghakimi itu.

Heru mengangguk lalu tersenyum.

"Lain kali hati-hati, Ga! Sebaiknya kalau tidak begitu paham soal mesin lebih baik bawa ke bengkel."

"Iya, Pa."

"Oke, kita lanjutkan obrolan kita tadi, Pak Atma," tutur mertuanya menyudahi pertanyaan tentang memar.

Arga menghela napas lega. Setidaknya masalah ini tak diperpanjang.

**

Kiara menarik bibirnya mendengar celotehan Damar yang tengah bercanda dengan Rendra. Kedua pria dewasa itu terlihat akrab. Benar kata Fia, Damar tampak lebih menyenangkan dibanding dengan Arga sang kakak, yang menurutnya terlalu menjaga image.

Titian Takdir (Sudah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang