Gilang keluar pagar. Matanya memindai Arga yang juga tengah menatapnya. Senyum getir tercetak di bibir Arga. Sudah bisa dia tebak! Pasti Kiara menolak untuk bertemu atau mungkin keluarganya telah melarang untuk bertemu."Ngapain sepagi ini kamu ke sini?" tanya Gilang sinis.
"Maaf, Mas. Saya ada perlu ingin bicara dengan Kiara," balasnya sopan.
"Bicara? Bicara apa? Apa yang mau kamu bicarakan?"
Arga menarik napas dalam-dalam.
"Saya minta tolong, Mas. Saya harus bicara dengan Kiara."
Gilang melipat kedua tangannya di dada seraya bersandar di pagar.
"Sebaiknya kamu pulang! Karena nggak akan ada gunanya juga kamu memohon."
Bodoh memang jika masih tetap memohon pada Gilang. Arga tahu dan sadar bahwa tentu saja sebagai seorang kakak, Gilang tak akan terima adiknya diperlakukan seperti yang sudah dia perbuat.
Akan tetapi, untuk Kiara, dia akan tetap memohon sampai istrinya itu muncul untuk menemuinya.
"Kalau saja adikku tidak melarang, tentu dengan senang hati kuremukkan rahangmu!" sergahnya dengan tatapan mata menusuk. "Jadi sebelum aku berubah pikiran sebaiknya kamu pergi!"
Arga tak bisa lagi membantah dia hanya mengangguk kemudian berkata, " Baik, Mas. Tolong sampaikan salam ke Kiara."
Dia lalu menuju mobil. Gilang mengedikkan bahu kembali masuk dengan menutup pagar hitam setinggi tiga meter itu.Sementara di kamar, Kiara mengirim pesan kepada kedua rekannya untuk menunggunya di rumah singgah.
[Kenapa nggak ke kantor, Ra?] Niken membalas pesannya.
[Ada sesuatu. Ceritanya panjang. Udah ya. Kita ketemu di rumah singgah. See you.]
Saat Kiara hendak meletakkan ponselnya ke nakas, benda itu bergetar. Panggilan dari Arga. Ini adalah panggilan kesekian kalinya sejak pukul lima tadi. Untuk beberapa saat dia tercenung menatap layar ponsel.
Tidak. Dia tidak marah kepada pria itu, tetapi dia hanya ingin berjarak demi menyelamatkan perasaannya sendiri.
Egoiskah dia, jika hanya dengan menyelamatkan perasan dirinya? Lalu bagaimana dengan perasaan Arga? Bukankah pria itu pernah mengungkapkan apa yang dirasakan belakangan ini padanya?
Kiara menggeleng cepat. Arga hanya mencoba menghiburnya. Perasaan pria itu hanya sesaat padanya. Bukankah sejak awal menikah Arga sudah memberi isyarat jika mereka tidak terikat dengan perasaan?
Getaran ponsel berhenti. Satu pesan masuk.
[Kiara, semalam aku pulang ke rumah kita. Lucu ya? Aku berharap kamu ada di sana, tetapi tentu itu nggak mungkin.]
[Kamu tahu? Aku nggak bisa tidur nyenyak semalaman. Coba aku tebak! Aku pikir kamu juga begitu, kan? Setidaknya aku mengawasi WhatsApp-mu yang selalu online malam tadi.]
Kiata mengerutkan kening membaca pesan dari Arga. Dia mengawasi? Untuk apa? Menarik napas dalam-dalam keningnya tak lagi berkerut, tetapi bibirnya yang sedikit tertarik samar.
Semalam memang Kiara melakukan hal yang sama. Online meski tidak sedang ingin menghubungi siapa pun. Entah mengapa dia hanya bolak-balik membuka aplikasi chatting dan melihat profil story teman-temannya lalu sesekali melihat foto profil Arga, tanpa mengetikkan sesuatu di sana.
[Kamu pasti tahu aku ke rumahmu, kan? Terima kasih sudah melarang Mas Gilang untuk menghajarku. Karena bibir masih pecah. Setidaknya biarkan bibir ini sembuh dulu, baru aku siap untuk menerima apa pun hukuman dari Mas Gilang.]
KAMU SEDANG MEMBACA
Titian Takdir (Sudah terbit)
RomansaMencintai dan dicintai adalah impian siapa pun. Akan tetapi, apa yang dilakukan ketika mimpi itu harus pupus karena takdir? Kiara Paramitha harus menepikan perasaannya demi memberi bahagia untuk keluarganya. Demikian pula dengan Arga. Pria yang sang...