Kiara sedikit terlambat bangun pagi, pembicaraan dengan Arga semalam benar-benar menguras emosi. Sementara Arga tampak masih meringkuk di sofa dengan nyenyaknya.
Segera dia menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai dia keluar hendak menuju dapur membuat sesuatu yang hangat untuk dinikmati. Akan tetapi, langkahnya terhenti saat melihat Arga seperti tengah menggigil. Tak ingin terjadi sesuatu dia mendekat.
"Demam? Mas Arga demam," gumamnya.
"Mas, bangun, Mas. Mas Arga, bangun!" Kiara mengguncang pelan tubuh sang suami.
Pelan Arga membuka matanya.
"Hai, Ra," sapanya dengan suara bergetar. "Tidurmu nyenyak semalam?"
Mengerutkan keningnya, Kiara berkata, "Mas demam. Kenapa malah tanya soal tidurku? Ayo ke ranjang. Tidur di sana pasti lebih nyaman."
Tak menanggapi pertanyaan, Arga kembali meringkuk sambil memejamkan mata. Pria itu terlihat kedinginan.
"Mas Arga! Ayo pindah,"titahnya seraya mencoba mengajak pria itu bangkit sehingga keduanya tak berjarak dan hampir saja hidung mereka bersentuhan.
Menyadari hal itu, segera Kiara menghindar.
"Mas bisa sendiri, kan?"
Arga tersenyum tipis kemudian mengangguk.
"Aku buatkan sarapan juga minuman hangat dulu," ujar Kiara lalu membalikkan badannya, tetapi tangannya cepat ditahan oleh Arga sehingga Kiara ambruk tepat di dadanya.
Keduanya saling menatap tanpa suara. Embusan napas Arga begitu nyata di telinganya. Kiara merasa debar dadanya pun dibaca dengan baik oleh Arga. Hidung mereka kembali hampir bersentuhan. Akan tetapi, lagi-lagi Kiara tersadar lalu dengan cepat dia bangkit.
"Maaf, Ra. Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih," tuturnya lirih.
"Nggak apa-apa. Mas ke ranjang ya. Aku ke bawah dulu."
Arga mengangguk sambil tersenyum saat tahu ada semburat merah di pipi istrinya.
**
Astrid merapikan rambut lalu membuka pintu mobil. Perempuan itu kesal karena teleponnya tak juga diangkat oleh Arga.
Meski Arga melarang untuk ke kantornya, tetapi kali ini dia merasa ada yang harus diselesaikan. Ada kekhawatiran pada perempuan itu terhadap kekasihnya. Terlebih sekarang ada perempuan lain yang bisa dengan leluasa melayani Arga.
Mengingat itu, dirinya dibakar cemburu dan tidak rela jika hal yang dia takutkan terjadi. Melewati lobby dia menuju lift yang mengantarkan ke lantai tiga kantor Arga.
"Selamat pagi, Mbak Astrid, ada yang bisa saya bantu?" tanya Vio saat dia sudah berada di depan sekretaris Arga.
"Pagi, Vio. Saya bisa ketemu Arga, kan?" tanyanya.
"Maaf, Mbak. Pak Arga hari ini nggak masuk. Istri beliau mengabarkan kalau Pak Arga sedang sakit," terang Vio ramah.
"Sakit?" tanyanya khawatir.
"Iya, Mbak."
Astrid memejamkan mata sejenak mengatur napasnya. Salah satu yang ditakutkan terjadi. Dia membayangkan saat ini Kiara tengah merawat Arga.
Otaknya mulai berkelana membayangkan bagaimana nanti jika akhirnya kekasihnya itu luluh dan takluk kepada Kiara. Terlebih ponselnya tak ada satu pun yang tersambung.
"Ada yang bisa saya bantu?" Pertanyaan sekretaris Arga membuyarkan lamunannya.
"Nggak ada. Terima kasih infonya, Vio. Saya balik," ujarnya tersenyum dipaksa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titian Takdir (Sudah terbit)
RomanceMencintai dan dicintai adalah impian siapa pun. Akan tetapi, apa yang dilakukan ketika mimpi itu harus pupus karena takdir? Kiara Paramitha harus menepikan perasaannya demi memberi bahagia untuk keluarganya. Demikian pula dengan Arga. Pria yang sang...