Cinta? ⛔ Area 21

4.1K 442 12
                                    


Arga lalu duduk tepat di sebelah Kiara, tetapi perempuan itu cepat menjaga jarak agar tidak terlalu dekat. Arga kembali menarik napas dalam-dalam menyadari perempuan di sebelahnya itu kembali bersikap dingin.

"Ada apa, Ra? Katakan!"

"Aku minta kita bercerai!" ucapnya tegas tanpa menatap. "Secepatnya! Nggak perlu menunggu bulan depan! Sudah hampir dua bulan berjalan, aku rasa cukup."

Kening Arga berkerut, tubuhnya seperti tengah ditimpa sesuatu yang demikian berat sehingga dirinya tak bisa bergerak.

"Apa, Ra? Kamu bicara apa barusan?" tanyanya dengan suara berat.

"Aku minta kita selesaikan secepatnya, Mas. Aku nggak mau terus seperti ini. Meski hanya tinggal sebentar lagi," balasnya lirih.

Arga masih tak percaya dengan apa yang diucapkan perempuan berpiyama merah marun itu. Tenggorokannya seperti kering seketika meski berkali-kali dia menelan saliva.

Ada hati yang terasa tercabik sekaligus terbakar mendengar penuturan datar perempuan di sampingnya.

Tercabik entah dengan alasan apa, terbakar karena dia tahu pangkal dari permintaan tiba-tiba Kiara adalah kedatangan Astrid di kediaman mereka.

"Ra, aku nggak bisa mengabulkan permintaanmu!" tuturnya dengan suara penuh penekanan.

Kiara memejamkan mata mengatur napas yang mendadak terasa berpacu lebih cepat.

"Kenapa? Bukankah ini yang Mas mau? Bukankah lebih cepat lebih baik? Bukankah batu sandung terbesar itu sudah mengalah?"

"Kiara, cukup! Batu sandung? Apa maksudmu?"

Kiara menyelipkan rambut ke belakang telinga.

"Selama ini buat Astrid, aku adalah batu sandung hubungan kalian, kan?" Dia lalu menarik napas dalam-dalam, "Oke, aku bisa jelasin nanti ke orang tuaku juga orang tua Mas. Aku akan bicara baik-baik dengan mereka soal ini."

Arga menggeleng cepat.

"Nggak! Nggak, Ra! Aku nggak akan melakukan itu sebelum ...."

"Tiga bulan?"

Arga diam.

"Apa yang ditunggu, Mas? Toh nggak ada yang bisa diharapkan di tiga bulan itu?" potongnya. "Aku tahu rasanya jadi Astrid."

Arga meraih tangan Kiara kemudian menggenggamnya erat. Manik hitamnya menelisik penuh permohonan kepada perempuan cantik itu.

"Nggak, Ra. Jangan seperti ini. Aku belum bisa ...." Arga menggantung kalimatnya.

"Belum bisa apa, Mas? Aku yang akan bicara ke mereka dan mencoba meyakinkan bahwa dalam hal ini akulah yang salah. Mas tenang aja, aku akan ...."

Kiara menghentikan ucapannya ketika telunjuk Arga menempel di bibirnya. Pelan Arga memangkas jarak hingga mereka sangat dekat.

"Katakan apa yang menyebabkan kamu seperti ini? Apa yang menyebabkan kamu tiba-tiba mengatakan hal ini?"

Kiara bergeming, matanya membalas tatapan Arga, sementara tubuhnya seperti membeku.

"Apa ini karena Rendra atau ...."

"Jangan libatkan namanya, Mas. Ini murni keputusanku," balasnya berusaha membuat jarak.

"Jangan menjauh. Tetap di sini!" Arga menahannya. "Aku nggak akan pernah melakukan yang kamu minta. Nggak akan pernah!"

Mata Kiara menyipit. Dia heran mendengar pernyataan Arga. Apa maksud dari ucapannya dan apa maunya? Bukankah ini semua idenya. Lalu bagaimana dengan Astrid? Tidak! Kiara menggeleng pelan saat otaknya berkelana lebih jauh.

Titian Takdir (Sudah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang