Kekecewaan Sahabat

3K 370 9
                                    

Mata Arga memindai Rendra saat pria itu bertanya.

"Nggak ada orang yang mau sakit dan nggak ada yang bikin Kiara sedih!" tegas Arga dengan rahang tampak mengeras.

"Oh ya? Kamu yakin kamu nggak bikin dia sedih, Tuan Arga yang terhormat?" timpal Rendra menyeringai.

"Ren! Kamu apa-apaan sih! Sadar ini rumah sakit dan Kiara sedang sakit, Ren!" Fia menarik lengan pria beralis tebal itu sedikit menjauh.

"Jangan dikira aku nggak tahu apa yang kamu sembunyikan, Arga!" imbuhnya masih dengan mata berkilat.

"Apa maksudmu? Kalau kamu ke sini cuma untuk membuat keributan, lebih baik kau pergi!"

Kiara mengerutkan kening menatap Rendra dan Arga bergantian.

"Kalian ini kenapa sih? Mas Arga! Udah!" protesnya.

Arga menoleh sebentar ke Kiara lalu kembali menatap Rendra.

"Dia duluan yang cari ribut, Ra! Dia datang-datang langsung bicara seenaknya!" balas Arga.  "Sebaiknya kamu pergi!" sambungnya memberi isyarat dengan dagu ke arah Rendra.

Pria berambut gondrong itu kembali menyeringai.

"Aku akan pergi tanpa kamu suruh! Ingat! Sampai terjadi sesuatu pada Kiara, kamu akan tahu akibatnya!"

"Ra, aku di luar. Kamu tahu ke mana kamu biasa bicara, kan? Cepat sembuh, Ra." Rendra mendekat lalu mengusap puncak kepala Kiara kemudian pergi meninggalkan ruangan itu.

Sementara Dia dan Niken saling menatap, mereka tak tahu harus berbuat apa. Demikian pula dengan Kiara. Tipikal Rendra yang keras memang sudah biasa dia ketahui, tetapi tak biasanya pria itu meluapkan kemarahan di depannya.

"So! Sebaiknya kamu nggak usah dekat-dekat sama pria seperti itu, Ra!" Arga membuka percakapan setelah Rendra tak lagi berada di kamar itu.

"Maafin Rendra, Mas. Dia pria baik kok, cuma mungkin ada hal yang membuat dia seperti itu."

Kalimat Kiara terasa sindiran di telinganya. Arga lalu menarik napas dalam-dalam kemudian mengangguk.

"Iya, itu terserah kamu aja. Kamu yang lebih tahu," balasnya seraya tersenyum.

"Oh iya, aku mau ke luar sebentar. Kalian lanjutkan obrolan." Arga menatap dua sahabat sang istri yang sejak tadi bergeming. "Ra, kalau butuh apa-apa, telepon aku! Aku keluar sebentar kok."

Kiara mengangguk seraya tersenyum dan mengucapkan terima kasih.

Sepeninggal Arga, baik Niken maupun Fia menghela napas lega.

"Rendra kenapa nge-gas gitu, sih?" keluh Fia seraya menepuk dahinya.

Sementara Niken justru menatap Kiara lekat.

"Ra, kamu kenapa bisa seperti ini? Kamu kemarin ke tempat Satria, kan?"

Kiara menarik napas dalam-dalam kemudian mengangguk.

"Lalu kamu kehujanan di sana?"

Perempuan yang tengah berbaring itu mengangguk pelan.

"Kamu seharian nggak makan?"

Kembali Kiara mengangguk.

"Ck! Ra! Berhenti menyiksa dirimu! Aku nggak suka kamu berbuat seperti itu, Ra!"

Fia menyenggol lengan Niken memberi isyarat agar diam.

"Nggak Fi! Sejak awal aku pernah bilang ke Kiara, berhenti berpura-pura kuat. Berhenti menyiksa diri," ungkapnya seraya membuang napas kasar. "Kamu pikir kalau Satria masih ada, apa dia akan setuju dengan perbuatan kamu menyiksa diri, Ra?"

Titian Takdir (Sudah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang