Pura-pura

3.5K 390 10
                                    

Kiara tersenyum ketika  Dira --mama mertuanya muncul dari ruang keluarga saat dia tengah mengaduk wedang jahe di dapur.

Perempuan paruh baya itu duduk di mini bar tak jauh dari tempatnya berdiri.

"Selamat pagi, Ma," sapanya. "Ara buatkan jahe hangat, Ma. Mau kan?"

"Pagi, Ara. Mau dong! Kenapa kamu sudah di dapur? Ini hari pertamamu bersama Arga."

Ara tersenyum.

"Arga mana?"

"Masih tidur, Ma."

Menggeleng Dira tersenyum.

"Dia udah bilang kalau sore nanti kalian berangkat ke Raja Ampat untuk bukan madu, kan?"

Kiara terdiam sejenak kemudian mengangguk.

"Su ... dah, Ma."

Bibir Dira melebar. Dia kemudian menceritakan bagaimana indahnya tempat yang akan mereka datangi.

"Kalian akan menghabiskan waktu di resort yang sudah kami booking spesial! Kamu tahu, kan keindahan laut Raja Ampat?"

Kiara mengangguk. Dia memang perempuan yang mencintai pantai. Raja Ampat tentu pilihan tepat untuk mengagumi keindahan ciptaan-Nya.

"Kamu bisa snorkeling sepuasnya di sana. Kamu suka pantai, kan?"

Kembali dia mengangguk. "Mama tahu dari mana?"

"Profilmu di majalah beberapa waktu lalu."

"Mama baca?"

"Baca dong, Cantik!"

"Di sana nanti, tidak ada polusi udara, tidak ada polusi suara, tidak ada sinyal ponsel, tidak ada seorang pun dan apa pun yang dapat mengalihkan fokus honeymoon kalian! Mama pilihkan tempat itu karena kamu dan Arga sama-sama sibuk. Nggak pernah bisa lepas dari laptop dan ponsel. Jadi Mama pikir sesekali nggak ada salahnya kalian ke sana!" tuturnya antusias.

Kiara kembali mengangguk lalu menyesap jahe hangatnya. Perjalanan pernikahan yang baru semalam akan menjadi titik awal langkah hidup yang dia sendiri tidak tahu akan seperti apa nanti.

Mengikuti jalan takdir mau tak mau harus  dilalui. Jelas terekam semalam, tatapan dingin Arga juga gesture pria itu mengisyaratkan bahwa tidak akan pernah ada keindahan dalam pernikahan mereka.

Sementara binar mata kedua orang tuanya yang bangga saat melihat dirinya bersanding di samping Arga membuat dia harus menepikan luka.

Nama baik dan kehormatan keluarga ada di pundaknya saat ini. Meskipun harus mengabaikan kebahagiaannya.

"Kamu terlalu baik, Kiara! Seharusnya kamu bisa menolak baik-baik usulan itu," sesal Rena saat dia mengabarkan rencana keluarganya kala itu.

Menarik napas, Kiara kembali meneguk minumannya.

"Kiara, kamu melamun?" Sentuhan lembut di lengan membuatnya menoleh.

"Enggak, Ma," elaknya meski dia tahu Dira tak akan percaya dengan jawaban itu.

Dira menarik napas dalam-dalam. Perempuan berkacamata itu paham apa yang dipikirkan Kiara. Dia juga tahu bukan hal mudah untuk bisa dalam sekejap mengetahui siapa dan bagaimana putranya. Dia juga mengerti jika Kiara sebenarnya bisa saja menolak, tetapi kepatuhan kepada orang tuanya yang membuat Dira terpikat untuk setuju dengan ide perjodohan itu.

"Kiara."

"Iya, Ma?"

"Kamu nggak menyesal, kan dengan keputusanmu?"

"Keputusan apa, Ma?"

Dira tersenyum simpul.

"Keputusan menerima Arga."

Tenggorokan Kiara tercekat, tak menyangka akan mendapatkan pertanyaan seperti itu dari mertuanya.

"Kamu nggak menyesal, kan?"

Menggeleng dia berkata, "Nggak, Ma."

Dira menghela napas lega.

"Mama tahu, ini sulit bagimu. Tapi Mama juga tahu kalau kamu adalah perempuan yang pantas untuk Arga."

Kiara menelan ludahnya. Bukankah kepantasan itu tidak bisa dilihat dengan mata telanjang? Mungkin banyak yang suka dengan dipasangkannya mereka dalam perjodohan, tetapi terkadang yang ideal di mata orang tidak sebanding dengan yang menjalani.

"Kiara, kamu tentu tahu alasan lain selain yang Mama sebut tadi."

Dira menatap paras menantunya.

"Biar bagaimanapun majunya zaman, bagi kami petuah orang dahulu adalah sesuatu hal yang harus dipegang kuat," sambungnya, "Mama tahu kamu juga pasti paham seperti apa kisah Arga. Tapi sekarang dia sudah jadi suamimu. Kamu berhak mendapatkan perhatian dan cinta sebagaimana selayaknya."

"Jangan pernah bersedih atau berpikir bahwa Arga tidak akan pernah bisa mencintaimu!" Dira mengulas senyum.

"Kamu pun begitu, cinta itu akan tumbuh jika dipupuk. Butuh waktu dan kesabaran untuk bisa menuai rasa itu. Kalian hanya perlu waktu untuk berdua dan bertukar cerita."

"Iya, Ma."

"Kiara, ada Mama. Apa pun yang ingin kamu keluhkan atau ceritakan, Mama siap mendengar dan mendukungmu. Percaya ke Mama. Arga tidak seperti yang kamu pikirkan. Dia pria baik meski egonya terkadang membuat kesal. Tapi Mama yakin. Dengan kebaikanmu, kesabaranmu dan kepintaranmu ... dia akan takluk!"

**

Arga mengusap wajahnya ketika tersadar waktu telah beranjak siang. Pria beralis tebal itu melihat air minum dan buah sudah tersedia di nakas. Di sebelah air putih ada secangkir kopi yang sudah tak lagi hangat.

Menyadari ini adalah pagi pertamanya setelah menikah, Arga kembali bersandar seraya memijit pelipisnya, lalu meraih ponsel yang sejak semalam berada di sampingnya. Astrid adalah orang pertama yang ingin dia sapa pagi ini.

"Halo, Sayang! Kamu kenapa sih aku telepon nggak diangkat!" Suara manja terdengar di seberang.

"Maaf, Sayang. Aku baru bangun! Capek banget."

"Capek? Jangan bilang kamu semalam ...."

"Ck! Berhenti berpikir aneh!" Suara Arga terdengar gusar.

"Sori, tapi aku cemburu, Arga! Aku nggak bisa tidur ngebayangin kamu semalam berdua dengan dia!"

Arga menarik napas dalam-dalam.

"Astrid! Kamu siap-siap packing. Nanti sore, kita ketemu di bandara!"

"What? Packing? Kita mau ke mana?"

"Ke suatu tempat yang jauh dari hiruk-pikuk semua ini!"

"Arga, kamu serius?"

"Apa aku nggak pernah serius dengan ucapanku?"

Astrid terdiam.

"Ya udah, sebelum jam tiga kamu sudah harus ada di bandara! Sekarang aku mau mandi dulu. See you, Dear!"

Dia memutus  obrolan lalu kembali meletakkan gadgetnya ke tempat semula. Pria itu tersentak saat melihat Kiara berdiri di depan pintu.

"Kamu."

"Maaf, aku cuma mau ganti kopinya. Mungkin sudah nggak hangat lagi." Seolah tak mendengar  obrolan Arga dengan Astrid, dia melangkah mengganti cangkir kopi dengan yang baru.

Tanpa mengucap apa pun Kiaea kembali melangkah menuju pintu.

"Kiara tunggu!"

"Ya?"

"Kamu ... kamu dengar apa yang aku bicarakan tadi? Eum ... maksudku apa kamu ...."

Senyum Kiara terbit. Sambil menggeleng dia berkata, "Feel free! Kamu nggak perlu merasa nggak nyaman karena aku mendengarnya. Aku paham. Tapi tolong kamu pikirkan gimana supaya  Mama Dira dan papamu tidak curiga. Itu aja. Permisi."

"Kiara kita belum selesai bicara!"

"Sebaiknya Mas mandi, karena sebentar lagi makan siang dan Papa juga Mama tadi berpesan supaya Mas ikut makan siang bersama mereka," tangkisnya kemudian meninggalkan kamar.

Arga membuang napas kasar lalu dengan cepat dia menuju kamar mandi.

**

Titian Takdir (Sudah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang