"Tapi aku mencintai Arga. Kami saling mencintai dan kami hampir menikah jika saja ...."
"Oke, aku paham," potong Mira seraya menarik napas dalam-dalam. "Aku hanya berharap kamu bisa bahagia tanpa mengorbankan perasaan perempuan lain," sambungnya kembali memainkan jarinya di keyboard laptop.
Astrid menatap Mira sejenak lalu membuang napas kasar. Perasaannya semakin tidak nyaman setelah mendengar penuturan rekannya itu.
Namun, dia merasa tidak bersalah dengan keputusan yang telah dibuat bersama Arga. Tinggal tunggu waktu yang tepat saja untuk mengatakan hal sesungguhnya kepada orang tua mereka, terutama kedua orang tua Arga.
"Mira."
"Hmm?"
"Apa aku salah mempertahankan cinta yang telah lama aku dan Arga rajut?"
Mira menoleh kemudian menggeleng.
"Nggak salah! Sama sekali nggak salah, tapi ...."
"Tapi apa?"
"Kondisi saat ini dan cara yang kamu tempuh itulah yang salah!"
Mereka berdua saling diam. Mira kembali menatap layar tujuh belas inci di depannya. Sementara Astrid masih memasang wajah gelisah.
Tampak dia melihat ke pergelangan tangan, lalu menggumam "Saatnya makan siang."
"Mau ke mana?" tanya Mira saat melihat Astrid bangkit.
"Ke toilet," jawabnya "Eum ... kamu nggak keluar makan siang?"
Mira menggeleng. "Kerjaanku masih numpuk! Kamu sendiri aja nggak apa-apa, kan? Lagian aku bawa bekal tadi."
"It's oke, Mir. Aku cabut dulu ya."
Mata Mira mengikuti langkah Astrid hingga menghilang dari pandangan.
**
Fia dan Niken saling melempar pandangan melihat Kiara pulang lebih cepat.
"Tumben, Ra? Bukannya masih ada agenda lain hari ini?" Niken menyelidik.
"Aku harus segera pulang. Arga sakit."
Kening Fia berkerut tak percaya mendengar ucapan sahabatnya.
"Arga sakit dan kamu ...."
"Kewajiban, Fi. Aku hanya melakukan kewajiban seperti yang semestinya. Lagipula kami sedang berada di rumah Mama Dira," terangnya seraya mengemas beberapa berkas ke dalam tas anyaman dari enceng gondok buatan warga binaan mereka.
Kembali Niken dan Fia saling menatap.
"Ra."
"Iya, Fi?"
"Apa nggak sebaiknya kamu bicarakan hal ini ke orang tua Arga? Aku takut kamu ...." Fia menggantung kalimatnya.
"Kenapa?" Kali ini mata Kiara memindai paras Fia.
Menarik napas Fia menggeleng.
"Nggak apa-apa, Ra. Aku harap kamu bahagia dengan apa pun keputusannya," jawabnya lirih.
Kiara paham arah pembicaraan Fia. Dia tahu betul bagaimana perasaan dua sahabatnya itu. Akan tetapi, ada hal yang tidak bisa dijelaskan dan tak bisa semua orang tahu mengapa dia mengambil keputusan yang tampak hanya untuk melukai diri sendiri.
Bagi Kiara hidupnya sudah selesai saat Satria pergi untuk selamanya. Tak ada pria lain setelahnya, bahkan jauh sebelum dengan Arga, beberapa kali Kiara dikenalkan oleh orang tuanya dengan beberapa pria. Namun, semuanya dia tolak.
Jika akhirnya dia mengiyakan pilihan terakhir orang tuanya itu lebih kepada ingin menjaga hubungan kekerabatan antara Pak Atma dengan papanya. Mungkin Kiara sedikit egois karena merasa Pak Atma memang bukan orang sembarangan. Kiara sebenarnya cukup cerdik, tetapi bukan untuk dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titian Takdir (Sudah terbit)
RomansaMencintai dan dicintai adalah impian siapa pun. Akan tetapi, apa yang dilakukan ketika mimpi itu harus pupus karena takdir? Kiara Paramitha harus menepikan perasaannya demi memberi bahagia untuk keluarganya. Demikian pula dengan Arga. Pria yang sang...