Arga menoleh ke Kiara lalu kembali membalas tatapan Bram."Eum, dia ...."
"Mas, aku mau ke toilet dulu ya. Sebentar." Kiara memotong ucapan sang suami.
"Oh oke, cepat balik ya," balas Arga sembari mengangguk.
Tampak sudut-sudut bibirnya terangkat kemudian bangkit dan meninggalkan tempat itu. Kiara sengaja menjauh. Dia memberi ruang agar Arga leluasa menjelaskan siapa sebenarnya dirinya di depan pria rekan Astrid tadi.
"Kiara!" panggil Rendra mendekat.
"Hai, Ren!"
Rendra terlihat heran. Dia menoleh ke belakang Kiara lalu ke samping seperti sedang mencari sesuatu.
"Suami kamu mana?"
"Oh, itu di gerai sana. Makan siang," jawabnya menunjuk ke arah warung tenda yang menawarkan coto Makassar.
"Kamu nggak makan siang? Bukannya tadi kalian ...."
Hati Kiara yang masih diliputi perasaan tak nyaman, hanya membalas dengan lengkungan nyaris tak kentara yang terlukis di bibirnya.
"Ada teman lamanya, lagian aku mau ke toilet kok."
Lagi-lagi Rendra menangkap ada yang disembunyikan oleh Kiara.
"Ra."
"Ya?"
"Tell me something about ...."
"What?"
Pria berambut gondrong dengan tato kalajengking di punggung tangannya itu menatapnya tajam.
"Kiara, sori kalau aku seperti pria sangat ingin tahu tentangmu, tapi aku tahu siapa kamu, Ra."
Perempuan di depannya itu merapikan rambutnya seraya menarik napas dalam-dalam.
"Aku tahu, Ren. Mungkin aku akan cerita nanti. Jadi untuk sementara biarkan saat ini aku selesaikan sendiri," tuturnya menepuk bahu Rendra. "Aku ke toilet dulu ya."
Rendra mengangguk membiarkan perempuan itu melangkah menjauh.
Di toilet Kiara mencuci wajahnya mencoba menutupi kesedihan yang hampir tumpah saat di depan Rendra tadi.
Jika dia boleh jujur, sebenarnya dirinya tak sekuat itu. Dia juga perempuan yang memiliki perasaan meski sekuat tenaga dia tepikan. Ada luka menganga yang sulit disembuhkan semenjak kepergian Satria. Kekecewaan yang mendalam serta rasa kehilangan yang sangat membuat dirinya memilih jalan ini. Membuat dan melihat binar bahagia di mata kedua orang tuanya.
Kiara masih menatap pantulan wajahnya di cermin. Ingatannya kembali pada kekasih yang meninggalkannya tanpa pesan, Satria. Pria itu tidak pernah membuat dirinya bersedih. Selalu saja ada bahan untuk membuat dirinya tersenyum meski mereka seringkali menjalani hubungan jarak jauh.
Kesetiaan Satria akan janji mereka tak diragukan lagi. Pun demikian dengan dirinya, bagi Kiara, semesta telah begitu baik sekaligus jahat karena memberikan sekaligus menghilangkan pria itu tanpa pesan apa pun.
"Kiara! Kiara kamu masih di dalam, kan?" Suara Niken terdengar dari luar.
Mengusap air mata yang sedari tadi jatuh, dia kembali mencuci wajahnya.
"Iya, Ken. Kenapa?" sahutnya.
"Dari tadi di dalam sana ngapain? Kamu baik-baik aja, kan?"
"Aku nggak apa-apa. Sebentar juga keluar."
"Ra, kalau ada apa-apa bilang ya."
Kiara tak menyahut. Dia kembali membasahi parasnya lalu mengeringkan dengan tisu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titian Takdir (Sudah terbit)
Roman d'amourMencintai dan dicintai adalah impian siapa pun. Akan tetapi, apa yang dilakukan ketika mimpi itu harus pupus karena takdir? Kiara Paramitha harus menepikan perasaannya demi memberi bahagia untuk keluarganya. Demikian pula dengan Arga. Pria yang sang...