CHAPTER 02
BLANCHED DIMENSION
©NAYLTAE
2022.
.
.
LEGENDA adalah legenda. Dalam kehidupan nyata, penyihir, raksasa, peri, dewa, goblin, atau berbagai tokoh fantasi lainnya tidak pernah benar-benar ada. Hingga detik ini, Lyra masih percaya kalau apa yang tengah dia alami hanyalah bagian dari mimpi buruknya sebagai akibat dari obsesinya atas dongeng yang kerap nenek bacakan.
Ketika pria tinggi di hadapannya bertanya apakah dirinya ini benar-benar seekor burung yang menjelma menjadi manusia, Lyra bingung harus menjawab apa. Sebab dia pun tak bersedia mengatakan kalau dirinya adalah seekor burung.
"Benar. Kau burung itu." Sorot yang Aaron tunjukkan bagai pusaran yang menariknya hingga tenggelam ke dalam. "Matamu biru. Kau benar-benar burung itu. Kau berubah jadi manusia."
Tungguㅡpernyataan tentang seekor burung yang menjelma jadi manusia sudah terdengar cukup gila di telinganya. Sekarang, pria di hadapannya ini mengklaim bahwa bola matanya berwarna biru? Selama 18 tahun hidup sebagai seorang gadis yang kecanduan menatap pantulan diri di cermin, Lyra sedikit tersinggung dengan klaim yang satu itu kendati mata biru bukan sesuatu yang buruk.
Buru-buru Lyra mendorong dua tangan Aaron dari pundaknya. "Dengar, ya. Ibu dan ayahku memiliki warna mata yang samaㅡhitam. Dengan mengatakan bahwa mataku berwarna biru, kau sama saja sedang meragukan asal-usulku!"
"Aku memang meragukan asal-usulmu." Aaron melipat tangan di dada.
"Asal-usulku bukan urusanmu!"
"Aku cuma mengatakan kalau matamu berwarna biru karena kelihatannya memang begitu. Tidak percaya? Mau bercermin?"
"Mana! Berikan cermin!"
Aaron tak bergerak. Keheningan yang mendadak tercipta membuat suara tamparan angin pada pintu rumah terdengar begitu mencekam. Melalui sela-sela dinding kayu yang berlubang dan kendur, badai di luar sana turut bertamu ke dalamㅡmenyapa keduanya hingga kedinginan.
"Kenapa tiba-tiba diam?" Lyra merasakan suasana di sekitarnya jadi menakutkan.
Aaron menggeleng. Setelah sekian lama, akhirnya dia bergerak dari tempatnya. "Kalau sedang badai begini lebih baik kita diam. Jangan banyak bicara."
"Kalau sedang badai begini lebih baik kita banyak bicara, supaya tidak takut. Kau ini aneh sekali."
Layaknya diserang trauma, Aaron benar-benar menutup mulutnya tanpa merespon ucapan Lyra. Pria itu bergerak menuju lemari pakaian yang juga berada di ruangan yang sama, mengeluarkan beberapa kain tipis dari sana.
Kalau dilihat-lihat, agaknya gubuk ini hanya terdiri dari dua ruangan. Sebuah ruang gelap di belakang sana yang Lyra yakini adalah dapur, dan ruangan ini yang berperan sebagai ruang multifungsi. Ranjang tua, meja makan, lemari pakaian, dan tungku api, semuanya berkumpul menjadi satu di tempat ini.
Aaron duduk di bibir ranjang, meletakkan tumpukan kain di sana dan kembali menatap Lyra. "Tidur."
Lyra melotot. "Di tempat itu?"
"Kenapa? Apa kau adalah seorang Puteri Kerajaan sampai berani menolak tidur di kasur jelek ini?"
Lyra mendengkus. Pasti hanya segenggam otak yang tersimpan di balik tempurung besar itu. Aaron ternyata cukup bodoh untuk bisa mengerti maksudnya.
"Aku tidak tidur berduaan denganmu."
"Aku juga tidak mau menyerahkan kasur ini untukmu." Aaron memilih acuh dengan Lyra dan segera merebahkan tubuh lelahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blanched Dimension
FanfictionDari sang nenek, Lyra selalu mendengar dongeng tentang sebuah bangsa yang mengalami kutukan abadi. Grindaltan yang membeku selama ratusan tahun lamanya, dengan sebab yang masih jadi ramalan. Suatu malam, Lyra bertanya-tanya: Apa benar tak ada cara...