CHAPTER 29
BLANCHED DIMENSION
© NAYLTAE
2024.
.
.
LUTUT Aaron terasa lemas hingga ia menjatuhkan dirinya ketika kembali memasuki ruang yang sudah belasan tahun sengaja ia tinggalkan. Sama sekali tidak ada yang berubah. Kamarnya masih berupa kamar anak-anak dengan banyak hiasan mainan kayu, layang-layang, dan sepatu-sepatunya yang ditata rapi dalam sebuah rak tinggi. Dulu, kaki Aaron tak kuat menahan dingin jika hanya mengenakan sepatu biasa untuk keluar rumah. Itu sebabnya ia diberi lebih banyak sepatu dibandingkan kakaknya, Ethan.Ia gemetar saat berusaha melangkahkan kaki dan masuk lebih dalam ke kamar. Ingatan-ingatan masa kecilnya bertubi-tubi merangsak memasuki ingatan. Terkadang membuat Aaron bahagia, tetapi sebagian besarnya membuat ia kembali ingin melarikan diri. Ia mengusap permukaan seprainya yang dingin, kemudian saat kenangan lain bermain jelas sekali di ingatannya, ia memejamkan mata dan menahan rasa takut.
Saat berumur sembilan tahun, untuk pertama kali Aaron memimpikan dirinya yang kira-kira berada pada umurnya saat ini. Aaron dewasa dalam mimpinya begitu ketakutan. Ia dikejar-kejar oleh sesuatu yang tak ia ketahui. Seseorang akan membunuhnya, seseorang akan memusnahkannya, itu yang Aaron kecil yakini dari mimpi itu. Sekarang, ia telah berada pada umur yang sama seperti yang ia mimpikan sewaktu kecil. Namun, ia justru kembali ke tempat ini, tempat di mana mimpi itu mungkin terwujud.
"Setelah bertahun-tahun tinggal di istana ini, akhirnya hari ini aku bisa melihat pintu kamar ini terbuka."
Suara ketukan sepatu Edgar yang beradu dengan lantai mengisi keheningan kamar Aaron. Tampilan pria itu masih sama gagahnya seperti siang tadi, seolah akan berburu di tengah malam. Pria itu tersenyum ringan melihat-lihat isi kamar Aaron yang kekanak-kanakan.
"Kalau sudah kembali ke istana begini, kau bukan lagi saudaraku, 'kan? Aku harus berlatih bersikap sopan kepadamu dan memanggilmu pangeran, bukan bajingan."
"Pergi sebelum aku menghajarmu."
Dahi Edgar mengerut. "Memangnya apa salahku?"
Napas Aaron naik turun menahan amarah saat menatap wajah tak merasa bersalah yang Edgar tunjukkan. Ia bangkit, mendekat ke arah Edgar, dan mengepalkan tinju makin tak sabar saat menyadari wajah Edgar tetap tak gentar meski jaraknya kini memungkinkan untuk mendapatkan pukulan dari Aaron.
"Kau sengaja, 'kan? Kau menjebakku agar kembali ke tempat ini." Suara Aaron rendah penuh tekanan. "Bajingan."
"Ssst." Edgar menggeleng. "Jangan mengumpat. Lyra tidak akan suka kalau tau kau suka mengumpat."
"Jangan main-main!" Aaron mencengkeram kerah Edgar. "Katakan apa yang kau inginkan!"
"Iya, iya, sebentar." Edgar pelan-pelan menyingkirkan tangan Aaron dari kerah bajunya, lalu merotasikan bola matanya sekadar memprovokasi Aaron agar semakin marah. "Karena aku sudah ketahuan, maka akan aku jelaskan semuanya kepadamu sekarang."
"Kau benar-benar merencanakan sesuatu ternyata."
Edgar mengangguk-angguk. "Tentu saja."
"Dan sumpah, kau tidak perlu melakukannya kalau alasanmu hanya karena kau kasihan padaku dan ingin aku kembali ke istana agar aku bisa menjalani kehidupan yang baik. Aku benar-benar tidak butuh perhatianmu yang seperti itu."
"Sayang sekali, aku tidak sesayang itu padamu."
Edgar tanpa sopan santun mendudukan dirinya di bibir ranjang milik Aaron. Ia menumpu kaki kirinya di atas kaki kanan. "Aku harus mulai dari mana, ya? Masalahnya ini rumit sekali dan akan membuatmu marah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Blanched Dimension
FanfictionDari sang nenek, Lyra selalu mendengar dongeng tentang sebuah bangsa yang mengalami kutukan abadi. Grindaltan yang membeku selama ratusan tahun lamanya, dengan sebab yang masih jadi ramalan. Suatu malam, Lyra bertanya-tanya: Apa benar tak ada cara...