Arkan sedari tadi menoleh pada raya yang sibuk dengan earphone sembari memejamkan matanya. Laki-laki itu tidak ingin raya tidak menikmati perjalanan mereka untuk refreshing.
"Ray!" Satu tangan yang menganggurnya ia pakai untuk mendorong bahu raya ke samping.
Bunyi suara jedugan terdengar lumayan keras. Raya membuka matanya lalu mengadu perih karena bagian sisi kepalanya terbentur oleh jendela mobil.
"Sakit tau nggak?!" Matanya berkaca-kaca, Arkan langsung memberhentikan mobilnya di pinggir jalan yang sepi.
Arkan 'kan tidak sengaja.
"Jangan pegang-pegang!" Gadis itu menepis kasar tangan Arkan yang ingin mengecek benturan yang di rasakannya tadi.
"Mau liat! Kalau lo benjol gede gimana?!" Raya kepala batu, akan susah jika Arkan tidak ikut membalas perkataan kerasnya. Ah, terbalik, harusnya Arkan bersikap lembut saat ini karena sikap raya yang kepala batu, tapi karena sikap Arkan juga samanya dengan raya jadi tidak memungkinkan dia untuk berkata penuh perhatian pada gadis itu.
"Nggak mau! Dibilang nggak mau, ngerti nggak sih?!"
Lah kok ngamuk?
"Ya makannya cek! Takutnya lukanya serius gimana?!" Arkan memaksakan kepala raya untuk menoleh ke arahnya.
"Nggak ada luka apa-apa!" Raya membalas dengan keras, ia hanya takut jika Arkan berkata seperti tadi.
"Liat, raya stevania rayan!" Matanya menajam, rahangnya mengeras saat menatap raya yang sangat amat keras kepala.
"Nggak! Nggak ada luka apa-apa.. hiks!"
Entah bagaimana jadinya raya tiba-tiba menangis keras pada Arkan. Dengan rasa kesalnya Arkan mengangkat tubuh raya ke dalam pangkuannya. Bodo amat dengan teman-temannya yang sudah duluan ke tempat camping, yang sekarang Arkan fikirkan adalah keadaan raya.
Raya tidak protes saat Arkan mengangkat tubuhnya ke dalam pangkuan lelaki itu. Justru sebaliknya, raya menenggelamkan kepalanya pada dada bidang milik Arkan.
"Liat dulu yaaa? Raya.. boleh diliat lukanya nggakkk?" Ia berbisik lembut di telinga raya, jarang-jarang Arkan bersikap seperti ini pada raya.
"Sakit... Hiks! Kepalanya pusing."
Bodoh! Arkan memaki dirinya sendiri karena sudah menyakiti raya. Ia mengepalkan tangannya keras, hingga buku jari-jarinya memutih.
Tak kunjung mendapatkan balasan, raya sontak mendongak menatap wajah Arkan yang memerah menahan... Emosi? Kilatan merah terpancar di sepanjang bola matanya, juga rahangnya yang mengetat.
"Arkan.." raya takut, takut melihat Arkan yang seperti ini.
Panggilan raya langsung membuat Arkan menghela nafasnya kasar, ia tidak bisa melihat raya disakiti, apalagi oleh dirinya sendiri.
Perlahan kedua lengan kekarnya memeluk tubuh raya erat, menyandarkan kepalanya ke leher jenjang gadis itu.
"Boleh diliat? Takut lukanya parah." Arkan masih membujuk raya.
"Tapi sebentar aja."
Mau tidak mau Arkan mengangguk singkat. Setelahnya, ia menggeser helai demi helai rambut halus raya, melihat sepanjang garis rambutnya mana bagian yang terbentur tadi.
Saat matanya melihat ada bekas jahitan yang perlahan mulai terbuka, juga bekas darah mengering Arkan semakin kalut di tempat. Siapa yang berani menyakiti gadis itu? Tidak mungkin raya tidak merasakan sakitnya.
"Raya.." suara Arkan bergetar, matanya tiba-tiba memerah, kesal dengan dirinya sendiri yang tidak becus memperhatikan gadis itu dengan intens.
"apa?" Jawab raya pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MUSIC OF MY LIFE
Short StoryRaya tidak pernah merasa dirinya sehidup ini, rasanya semua beban yang menjadi tanggungannya terbuang begitu saja. Musik bukan hanya sekedar lagu yang di dengar dalam situasi tertentu saja. Tapi musik membangun dan membuat suasana perasaan manusia m...