27| Mereka

5 1 0
                                    

Arkan tahu semua kehidupan keras yang gadis itu jalani semenjak ia pernah mendengar pertengkaran hebat di dalam rumah raya.

Saat itu Arkan ingin mengambil bola karet nya yang terlempar ke dalam halaman milik gadis itu.

Arkan kecil mengendap-endap masuk kedalam pagar rumah raya, ia tadi bermain dengan teman sekompleks nya di depan rumah. Tapi naasnya, bola karet yang tengah dimainkannya terlempar masuk ke dalam rumah raya. Alhasil, disinilah ia sekarang, masuk seperti seorang maling hanya untuk mengambil sebuah bola karet.

"Ck, gara-gara Tara nih!" Arkan kecil mengomel, kesal rasanya saat Tara tidak ingin ikut mengambil bola karet kedalam rumah gadis kecil yang sudah lama menjadi sahabatnya.

Arkan hanya takut bram— ayah raya, mengomelinya lagi karena beberapa kali bola karet itu masuk ke dalam rumahnya, hingga Bram jengah dengan kelakuan Arkan yang selalu bermain bola di depan pagar rumahnya, padahal kan lapangan kompleks juga ada? Kenapa harus main di depan rumah coba.

Tangan kecil Arkan terulur mencoba menggapai bola karetnya di bawah kursi taman halaman. Tapi saat ia ingin telungkup untuk mengambil, Arkan mendengar isakan kuat dari seorang gadis yang keberadaannya tidak jauh dari tempatnya berdiri.

Arkan bangkit menghampirinya, langkahnya yang pelan membuat gadis itu sama sekali tida terganggu dengan keberadaan Arkan.

"Mama... Papa..hiks!"

Ya, Arkan mengenal suara itu dengan jelas.

Raya si gadis cengeng, tentu saja ia pasti mengenal tangisan gadis kecil nan menyebalkan itu.

Saat hendak ikut duduk di sebelahnya Arkan termangu sebentar. Kemarin sore, Arkan dan raya bertengkar hebat hanya karena Arkan menjahili raya, Arkan berkata saat gadis itu pulang nanti akan terkena omel besar oleh Andrea— mama raya.

Dan sekarang, perasaan bersalah itu muncul. Apakah benar yang diledekinya itu? Bahwa raya menangis karena di omeli oleh Tante Andrea? Padahal sebenarnya ia hanya bercanda, raya gadis kecil yang sibuk di umurnya yang baru menginjak 6 tahun. Aneh saja, Arkan yang masih sibuk bermain ke sana kemari harus menjadi teman raya— si gadis kesepian.

"Arkan.." matanya sembab, air matanya masih terus berjatuhan tanpa diminta.

Arkan maju beberapa langkah, setelahnya ia duduk bersebelahan dengan raya. Menatap wajahnya dari samping, lantas Arkan langsung mengalihkan pandangannya menatap kosong pemandangan taman di depan.

"Kenapa?" Arkan kecil bertanya dengan nada datar. Tidak ingin merasa bahwa raya menganggap Arkan telah memaafkannya.

"Masih marah? Padahal Arkan duluan yang ngeledekin raya kemarin, harusnya yang marah itu raya, bukan Arkan." Raya berucap pelan, menjelaskan permasalahan kemarin dengan jawaban yang jujur.

"Nggak peduli." Jawab Arkan mengedikkan bahunya pura-pura acuh.

"Arkan," raya memanggil.

Tapi Arkan tidak menjawab, walaupun telinganya mendengar jernih suara raya.

"Arkan teman satu-satunya raya disini, Arkan pernah liat mama sama ayah raya bertengkar kayak sekarang nggak?"

Tentu saja. Bram dan Andrea selalu bertengkar, dan mustahil Arkan tidak mengetahuinya.

"Pernah." Akhirnya Arkan menjawab, raya dalam hati memekik senang mendengarnya.

"Raya nggak apa-apa. Tapi, raya jadi ingat kita bertengkar kayak kemarin sore. Bedanya, raya sama Arkan jarang bertengkar, sedangkan mama dan ayah bertengkar nya hampir setiap hari."

MUSIC OF MY LIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang