32| Her dreams

3 1 0
                                    

Argantara berfikir seharusnya Raya datang lebih awal dari jam yang sudah di tentukan.

Sebetulnya ia sangat tidak suka dengan orang yang tidak menghargai waktu, Argantara selalu menggunakan waktunya dengan sebaik mungkin. Jika ditanya seberapa penting aktivitasnya diluar, ia akan menjawab ; tidak bisa di bayar menggunakan apapun.

Waktunya adalah prioritasnya.

"Bang, Raya kayaknya telat. Bisa tolong 10 menit lagi di tunggu?" Argantara berusaha bernegosiasi waktu kepada abangnya.

"Gue nggak pernah liat lo sampai nungguin orang selama ini, Gan?" Jaden tersenyum meledek.

Argantara menghembuskan nafasnya sabar, seharusnya jika perasaan ini tidak muncul ia tidak akan pernah ingin mentolelir seseorang yang tidak menghargai waktunya.

"She was my first love." Argantara berucap pelan, bahkan sepertinya tidak terdengar di telinga Jaden- abangnya.

"Gue masuk duluan, nanti kalau orangnya udah datang langsung ajak ke studio aja ya!" Pesan Jaden sebelum ia benar-benar meninggalkan Argantara yang tengah menatap keluar lobby menunggu seseorang.

Kurang dari 10 menit ternyata Raya turun dari motor yang di yakini milik ojek online. Ya, Raya menaiki ojek online untuk sampai kesini.

Argantara bersyukur Raya masih menepati waktu yang di janjikannya.

"Sorry telat, gue harus ngumpet-ngumpet dulu tadi." Raya berucap jujur pada Argantara.

Argantara tidak jadi badmood karena ia pikir Raya akan telat. Tapi ternyata alasan itu lah yang membuat Argantara menjadi tersenyum lagi.

"Kok senyum?" Raya mengerutkan keningnya bingung, gadis itu tengah menceritakan alasannya kenapa bisa telat pada Argantara.

"Lo lucu."

Matanya membola terkejut, Raya lucu? Yang benar saja?! Gadis itu bahkan menolak di puji cantik oleh orang-orang.

Tapi entah kenapa Raya ikut tersenyum mendengarnya. Senyum Argantara membuat Raya tertular untuk tersenyum.

"Yuk ah masuk! Abang gue udah nungguin dari tadi." Argantara mulai berjalan di sebelahnya, di ikuti dengan Raya yang tidak henti-hentinya mengucapkan kata maaf.

"Sorry, ya! Gue serius minta maaf.." ia merasa tidak enak dengan Argantara dan abangnya- Jaden.

"Santai, take your time ya kalau udah di studio. Gue bakal tunggu diluar, good luck Raya!" Laki-laki itu berhenti di depan ruang studio musik milik Jaden.

Mereka sama-sama gugup, project yang di buat Jaden untuk mencoba Raya sebagai vokalis membuat gadis itu jadi merasa gugup saat ini.

Raya benar-benar tak menyangka bahwa suaranya akan di rekam dan akan dijadikan musik jika memang ia berhasil melewati prosesnya.

"Kalau beneran bisa gimana?" Raya resah, kelima jarinya bergerak tak tentu karena sangking gelisahnya.

"Ada gue, gue selalu percaya sama progress lo!" Argantara berusaha menyemangatinya. Sebisa mungkin ia membuat Raya tidak gelisah saat nanti memulai rekaman.

"Gue udah bilang sama Jaden, kalau lo nervous dia tau gerak-gerik jari lo." Argantara memperhatikan Raya se-detail itu.

"Thanks a lot, Gue beneran hutang banyak sama lo. Makasih udah wujudin mimpi gue." Raya menatap mata tajamnya, mata itu banyak mengkhawatiri keadaannya selama ini. Raya hanya bisa memberikan hasil terbaiknya nanti.

"Sans, elah! Tugas gue ini!" Laki-laki itu tertawa untuk menghilangkan rasa yang bergemuruh di dalam hatinya saat Raya mulai tersenyum kembali menatapnya.

"Wish me luck!" Ia menyemangati dirinya sendiri di hadapan Argantara.

***

Raya tidak pernah percaya bahwa saat ini ia tengah berada di ruang rekaman suara yang sejak dulu pernah ia impikan.

Segala manifesting yang Raya lakukan akhirnya satu persatu mulai tercapai. Usaha dan Doa yang harus gadis itu lakukan untuk mendapatkan apa yang ia inginkan dalam hidupnya.

Untuk mencapai hidup yang diinginkan tentu diperlukan pengorbanan yang luar biasa. Memikirkan tentang hal yang terjadi saja tidak cukup, perlu sebuah tindakan yang mengharuskan orang itu dapat mencapai apa yang diinginkannya.

Orang mungkin hanya melihat di luarnya saja, Raya bersenang-senang dengan hidupnya dan melakukan apa yang ia mau tanpa banyak beban.

Salah.

Raya menanggungnya, gadis itu menanggung beban yang di bangun dirinya sendiri.

Apa yang sudah ia pikirkan dan menjadi dampak buruk dalam hidupnya ia akan sebisa mungkin bertanggung jawab dalam hal itu. Selagi ia bisa mengontrol dan membatasi apa yang ia pikirkan, ia pasti akan menjadi lebih baik dalam hidupnya.

Hal kecil seperti itu saja Raya sangat berhati-hati, apalagi dengan ekspektasi mamanya yang menaruh besar harapan bahwa Raya harus sukses yang bukan di bidangnya.

Ruang rekaman menjadi sunyi kala Raya mulai mengeluarkan suara indah dari mulutnya. Beberapa Crew dan seorang produser musik berusaha mendengarkan suaranya degan cermat.

Dalam benak Raya ia sudah sangat takut dengan suaranya yang mungkin saja tidak enak di dengar di luar sana.

Tapi saat lyrics terakhir selesai dinyanyikan terbayar sudah ke khawatirannya.

Semua orang di sana bertepuk tangan dengan keras, begitu juga dengan Argantara yang sudah ada di sana dengan senyuman lebar menyambut Raya.

"Congratulations, Ray! You finally did it!" Argantara terharu melihat Raya yang menutup mulutnya karena speechless.

Kakinya melangkah cepat untuk sampai kehadapan Raya dan memeluk gadis itu untuk menenangkan tubuhnya agar tidak terlalu kaku saat ini.

"Gue beneran nggak nyangka, Ga. Mimpi ya gue?" Raya berucap lirih dalam pelukan Argantara, ia tentu saja butuh pelukan selamat itu.

"Lo nggak mimpi, dan ini beneran mimpi lo, Raya."

"Can you please don't cry?" Argantara melihat setetes air mata mengalir dari mata kanan gadis itu. Ia tidak bisa berkata-kata selain menyuruh Raya untuk berhenti menangis.

"I can't." Raya masih menangis sesenggukan di pelukan Argantara.

Laki-laki itu mendukungnya penuh, mendukung semua mimpinya dan di tuang langsung kedalam lagu karyanya sendiri.

Bahkan Jaden— kakak dari Argantara tidak mengomentari tulisan lagu yang Raya buat sendiri.

Ia hanya berkata, "lo layak jadi penyanyi, Arga milih orang yang tepat. Congrats, Raya!"

Kata-kata yang penuh semangat dan motivasi itu membuat Raya bangkit mengejar mimpinya.

Peduli amat dengan ucapan mamanya bahwa Raya tidak layak dan tidak bisa masuk ke dalam dunia musik— mimpinya.

Terkadang ucapan orang tersayang pun menjadi salah satu penghalang mimpi. Menghancurkan segala jalan masa depan yang pernah kita buat tanpa mengetahui rasa susah membuatnya seperti apa.

Beranilah bersikap bodo amat terhadap sesuatu yang membuat kita jatuh. Tidak peduli dengan omongan orang yang memang tidak mengetahui jalan hidup kita itu memang perlu.

Raya salah satu orang yang merasakannya.

***

MUSIC OF MY LIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang