[ The Elemental Trilogy | Book 2]
Peristiwa terahkir memberikan pukulan besar bagi mereka, terutama untuk Luna yang kehilangan satu-satunya keluarga. Kepergian Hanna Fletcher menjadi titik balik dari keenganan Luna untuk kembali melibatkan diri dala...
Kota itu dulunya begitu indah, terdapat banyak toko dan bahkan tempat-tempat yang menyenangkan untuk dikunjungi untuk sedikit melepas penat selama beraktivitas seharian. Seperti cafe di perempatan jalan yang sering Luna kunjungi ketika ingin membaca sembari menikmati segelas taro dingin.
Meski sudah malam, kota seharusnya terang, karena saat matahari mulai terbenam, orang-orang akan mulai menyalakan lampu rumah dan lampu-lampu jalan. Tapi kini tempat itu gelap. Sebab, tempat itu kini runtuh, diserang badai besar yang di bawah oleh orang-orang tidak bertanggung jawab. Tempat itu porak poranda, seperti kota mati. Terlihat menyeramkan tanpa satu pun penghuni.
Untuk pertama kali setelah sebulan sejak dirinya memutuskan untuk pergi, Luna Fletcher kembali menapakan kaki di kota kelahiran Ibu nya. Debu menutupi teras rumah. bekas kebakaran dari kala itu masih ada, dan daun-daun kering dari pohon yang telah mati berterbangan, lalu mendarat di sekitar pekarangan rumah yang dahulu ditumbuhi oleh bunga-bunga milik Bibi Hanna.
Luna merenung sesaat, menyadari kesalahan atas pilihan yang dibuatnya. Seharusnya dia tidak pergi, seharusnya Luna tetap berada di sini dan menjaga rumah mereka tetap aman. Perasaan peri itu menyerangnya, pikirannya bergejolak, merasakan emosi yang tidak bisa di tahan. Saat bulir air mata itu jatuh dipipinya, sebuah tangan sedingin es segera menyekanya, menyingkirkan air mata sialan itu dari wajah Luna.
Luna menatap Zean yang berdiri di sampingnya, dan pemuda itu membalas tatapannya. Dalam fikirannya, berbagai pertanyaan bergulir, memenuhi ruang dalam pikirannya yang mulai terasa berat. Apakah mereka akan menerima Zean jika Luna memintanya? Atau apakah setelah apa yang terjadi, bisakah Luna menaruh kepercayaan pada pemuda itu.
Luna masih belum tau alasan apa yang membuat Zean berada di pihak Blackton, dan alasan apa pula yang membuatnya berbalik dan memihak pada Luna. Segala hal tentang Zean masih abu-abu dan entah kapan Luna akan melihat warna itu berubah, entah putih yang bisa di percaya atau merah yang hanya ingin menjebaknya sekali lagi.
"Pergi ke mana semua orang?"
"Pergi mencari tempat aman," jawab Zean sekenannya.
"Kau tau di mana mereka?"
"Sebelum kuberitau, kita mungkin harus bersembunyi terlebih dahulu." tanpa mendengar protesan dari Luna, Zean memegang tangan Luna dan menariknya masuk ke dalam rumah.
Luna yang kebingungan atas sikap Zean, lantas mencoba mengintip lewat kaca. Dia bisa melihat sekelompok orang berjubah hitam tengah berjalan di sekitar area toko tepat di depan rumahnya. Para pengikut Morana itu kemudian menarik keluar seseorang dari dalam sana secara paksa. Seorang lelaki tua yang memakai pakaian kotor dan berantakan.
Alis Luna berkerut dalam, menyaksikan sikap tidak sopan orang-orang itu. Dia lalu menoleh pada Zean saat pengikut Morana telah berlalu pergi dan tidak lagi terlihat.
"Kupikir sudah tidak ada orang lagi di kota ini?" Luna menatap Zean, meminta penjelasan atas apa yang baru saja dilihatnya.
"Tidak semua orang punya keluarga untuk menjemputnya pergi atau sekedar melindunginya--"
"Tapi ada para ZA Elementis kan," serga Luna. Dia tidak habis fikir, bagaimana bisa mereka meninggalkan seseorang di tempat berbahaya ini.
Zean menarik nafas berat, dapat melihat dengan jelas guratan emosi di wajah Luna. "Mereka menyerang kota secara tiba-tiba, kekacauan dimana-mana sehingga bahkan untuk mencoba menyelamatkan orang lain hampir terasa mustahil. Kau tidak ada di sana Luna, kau tidak tau apa yang terjadi."
Luna rasanya tertohok karena ucapan Zean. Dia mengalihkan pandangan benar-benar merasa bersalah. Apakah memang benar separah dan sekacau itu, Luna tidak bisa membayangkannya. Apa yang telah terjadi, Luna merasa itu adalah kesalahannya. Luna lah yang membuka portal sehingga Blackton dapat masuk dan membebaskan Morana dari penjara, semua adalah kesalahannya, tapi tanpa merasa bersalah dia malah bersikap egois dan pergi meninggalkan tanggung jawab.
"Dasar pengecut."
"Sudah, jangan menyalahkan dirimu," ucap Zean. Membuat Luna seketika langsung memandangnya terkejut.
"Kau bisa mendengar isi pikiranku?" Tanya Luna konyol.
Zean tersenyum tipis, lantas menggeleng. Luna mengangkat alis "kau hanya gampang terbaca, ekspresi dan sikapmu terlalu jelas," kata Zean. Luna mengulum bibir merasa malu tiba-tiba.
Zean mengintip keluar jendela, melihat situasi diluar apakah sudah aman. "Mau melakukannya?" Tanya Zean, sembari mengulurkan tangan.
Luna menatap sekptis "maksudmu..."
Zean mengangguk, lalu mengambil tangan Luna dari sisi tubuhnya. Dia tersenyum tipis "pejamkan matamu," pinta Zean. Luna mengambil nafas dalam, memejamkan matanya dan mempererat genggaman tangannya dan Zean, sebelum ahkirnya ia merasakan angin perputar mengelilingi mereka dan dia tersedot diantara ruang dan waktu. Dan saat Luna membuka matanya lagi, rumah tempat sebelumnya mereka berada, kini telah berubah menjadi padang luas dan kosong.
"Bagaimana?" Tanya Zean, mengambil fokus Luna yang langsung menoleh padanya.
"Sedikit menakutkan? Tapi kurasa saat melakukannya sendiri, akan terasa lebih baik?"
"Kau bisa mempelajarinya, Elementis istimewa akan gampang menguasai teleportasi," kata Zean.
"Apa itu pujian?"
"Yeah, memang apa lagi."
Luna mengedikan bahu "Tidak, aku hanya merasa terlalu defensif karena kalimat itu berasal darimu."
"Jadi, di mana ini? Kupikir kau akan membawaku menemui yang lainnya?"
Tempat itu benar-benar kosong. Sejauh yang dapat Luna lihat hanyalah padang rumput dan kegelapan yang tampak menakutkan. Suara ngengat yang berterbangan adalah satu-satunya yang bisa didengar selain dari suaranya dan Zean. Tidak ada orang lain yang bisa Luna lihat atau temukan.
Luna berbalik, menghadap pada Zean dengan ekspresi meminta penjelasan. Zean menghembskan nafas pelan, hendak menjawab, tapi kembali bungkam saat melihat sekelilingnya tiba-tiba berubah.
Tenda-tenda besar mengeliling mereka, lampu-lampu kecil yang tergantung pada tiang-tiang mulai menerangi sekitar, lalu orang-orang yang tadinya tidak terlihat nampak berlalu lalang kesana-kemari sambil memperhatikam mereka. Luna dan Zean saling memandang dalam ketakjuban.
Padang rumput yang semula kosong dan gelap, seketika berubah menjadi tempat perkemahan yang dipenuhi banyak orang, dan Luna merasa lebih senang lagi saat merasa bahwa teman-teman yang dicarinya juga mungkin ada di sana.
To Be Continued
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.