BAB 21 | Trapped In Fire

147 43 0
                                    

Peter mendorong pintu masuk ruang bawah tanah grey manor, yang lain mengikuti juga mengawasi di belakang.

Pemuda tersebut melangkah masuk lebih dulu, kemudian diikuti Luna dan Liam.

"Tidak ada siapa pun di sini," ucap Peter sembari mengedikan bahu dan menghela nafas berat.

Haden dan Janessa cepat-cepat turun tangga dan melihat keadaan dalam ruang bawah tanah. Sosok Jason Gray yang sebelumnya pingsan sudah tidak ada. Tempat itu kosong.

Janessa dan Haden saling pandang yang kemudian meringis bersamaan. Mereka mengeruhkan ekspresi wajah dan memandang teman-teman mereka dengan tatapan bersalah. Baru saja menyadari sesuatu.

Pintu tiba-tiba saja ditutup dengan cara yang keras, menghasilkan bunyi yang sukses membuat mereka yang berada dalam ruang bawah tanah terkejut.

Liam segera berjalan ke arah pintu dan memukul-mukulnya dengan keras, berusaha mendobraknya.

Peter menatap Haden dan Janessa, menyadari ekpresi yang baru saja mereka tunjukan.

"Jangan bilang ini jebakan," kata Peter. Ekspresi wajahnya mulai mengeruh.

Janessa mengigit bibir bawahnya "maaf Peter."

"Kurasa, memang iya," timpal Haden. Dia memalingkan kepala, bicara tanpa menatap satupun dari mereka.

Luna menatap Janessa, alisnya mengerut berfikir "tujuan Gray menculikmu berarti bukan rencananya sendiri, itu rencana Blackton atau Morana agar seseorang datang menolongmu--"

"Dan mereka sepertinya berharap itu kau Luna," sambung Liam.

"Aku tidak menduganya. Finn bilang Jason Gray bekerja hanya dengan Bill Grover," kata Haden.

"Itu pasti tipuan, Finn mengenal Jason dan tau tujuannya, mereka menggunakam hal itu untuk jebakan." Peter mengerang kesal.

"Jadi bagaimana sekarang? Pintunya dikunci, tidak ada jalan keluar," kata Felora, dia merapatkan diri pada Luna, merasa agak takut dalam ruangan gelap.

"Sudah, jangan terlalu banyak omong, ayo dobrak pintunya bersamaan," kata Peter, dia menarik mendorong Haden kearah pintu.

"Pintunya tidak mungkin tertutup sendirikan, pasti ada orang lain di Manor ini," ucap Janessa dengan ekspresi curiga.

Liam, Haden dan Peter mulai mendobrak pintu secara bersamaan, sementara Luna, Janessa dan Felora berdiri di belakang ketiga lagi-laki tersebut, berharap agar pintu segera terbuka.

Mereka mendobrak pintu beberapa kali, sampai Haden bahkan merasa lengan dan bahunya sakit. Sekitar 10 menit mereka mendobrak pintu sampai ahkirnya usaha mereka membuahkan hasil. Pintu tersebut lepas dari engselnya dan roboh. Haden ikut terjatuh menindih pintu tersebut. Pemuda itu mengaduh, memegang bahu kirinya dengan wajah meringis kesakitan.

"Well, lama sekali."

Seorang pria duduk di anak tangga paling atas, tampak melirik pada jam tangannya sebelum melihat pada 6 remaja yang diam memandanginya dengan berbagai eskpresi. Pria itu tersenyum, dia kemudian menatap Luna dengan senyum semakin melebar.

"Hai Fletcher, kita bertemu lagi," ucap pria itu, senyumannya berubah menjadi smirk penuh kejahatan.

Haden memelototkan matanya, segera menunjuk pria itu saat mengenali wajahnya "kau, kau salah satu yang datang mengacau di sekolah kami." Haden mendengus keras, maju selangkah dan berdiri paling depan diantara teman-temannya, tatapanya berubah tajam "apa yang mau kau lakukan lagi?"

"Oh, aku ingat kau, kau si sok pemberani itu kan?" Pria itu tertawa, melihat Haden dengan tatapan meremehkannya "kau pikir apa yang akan aku lakukan, bocah?" Tatapannya kembali pada Luna dan tersenyun miring "--tentu saja nona Flatcher," Katanya dengan suara mengambang.

Janessa segera menarik Haden mundur, kemudian pria itu berdiri dan perlahan menuruni tangga. Gaya congkaknya membuat para remaja itu mengengus tajam.

Luna menatap waspada, mulai merasa cemas atas segelanya. Ini tentang dirinya, selalu dirinya. Orang-orang datang silih berganti, membawa bahaya-bahaya baru untuk yang lain, penyebabnya hanya karena Luna berada bersama mereka. Pikiranya mulai memikirkan kerumitan dan itu sukses menjebak Luna dalam keterdiaman untuk beberapa saat. Mungkin jika mereka tidak dapat mengatasi ini, ada orang lain yang akan dibawa lagi.

Mereka waspada saat pria itu berjalan pelan dengan santai, dia memainkan api  ditangannya, pandangannya lurus menatap Luna seorang. Sesantai dan setenang tindakannya, pria itu melempar api yang langsung membuat lingkaran dan mengelilingil empat dari mereka, menyisakan Luna dan Felora yang berdiri mengapit lengan Luna makin kuat.

Haden menggeram, emosinya ditarik begitu saja, dia hendak melangkah melewati api kecil yang mengurungnya dan Janessa dalam lingkaran, tapi api yang tiba-tiba naik ke atas melewati tinggi badanya sendiri membuat Janessa refleks menarik pemuda itu mundur.

Api pada lingkaran lain berkobar. Peter dan Liam terkurung dalam lingkaran api yang terpisah, berusaha memadamkan kobaran api yang kapan saja bisa menghanguskan mereka, tapi usaha itu tampaknya tidak terlalu berhasil. Element air Peter tidak cukup kuat untuk memadamkan api, sementara angin Liam sebaliknya makin memperbesar kobaran tersebut, jadi Lima berhenti, menyadari element angin tidak begitu cocok untuk melawan api. Liam tidak bisa melihat teman-temannya yang lain, api berkobar dan membentuk lingkaran penjara, cukup tinggi untuk membuatnya tidak bisa melihat yang lain selain nyala api yang membara.

Masih ditempat itu, Luna berdiri waspada, menyembunyikan tangannya dibelakang dan bersiap dengan gumpalan air yang kian membesar. Sementara Felora berdiri tegap, memisahkan diri dari Luna dan juga bersiap untuk pertarungan.

"Jangan terlalu memaksakan diri, kalian tidak akan bisa mengalahkanku." pria itu bernafas pelan.

Luna mendengus tajam, alisnya bertaut memandang pria itu dengan tatapannya yang tajam juga waspada. Dia melirik teman-temannya dibelakang pria itu, ngeri melihat api berkobar tinggi seakan menghanguskan yang terkurung didalamnya.

"Luna! Bertahanlah sebentar, kami tidak akan membiarkannya membawamu!" Haden berteriak dari dalam penjara api.

Pria itu mendengus dan memutar mata. Dia mengarahkan tangannya ke belakang, membuat kobaran api yang mengurung Haden dan Janessa semkain tinggi dan besar. Kemudian suara rintihan Janessa terdengar, membuat Luna hampir melangkah maju. Tapi pria itu kembali memandangnya, seringaian keji menyebalkan miliknya terukir jelas.

Luna melirik melalui bahunya, merasakan air yang terkumpul telah cukup. Dia kemudian menatap Felora, menatapnya tanpa bicara, tapi sepertinya gadis airventus itu mengerti.

Sedetik setelahnya, Luna melemparkan gumpalan air ke arah pria itu. Semakin dekat gumpalannya semkain membesar, sayangnya pria itu segera memghindar dengan refleks tubuh yang cepat. Gumpalan air Luna terbang dan menabrak penjara api Janessa dan Haden. Dengan kening mengeruh dan bibir menipis, tatapan mata Luna semkain menajam dan fokus, dia mengangkat tangannya, tepat saat air menyentuh api, elementnya berevolusi menjadi es, membekukan api yang berkobar dengan tidak masuk akal. Dan penjara itu kemudian pecah, meningalkan keterkejutan pada mereka yang menyaksikannya.

To Be Continued

To Be Continued

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Ruin Roses ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang