BAB 06 | Refugee Tent

351 105 9
                                    

Padang rumput di sekeliling mereka dalam sekejap berubah menjadi tempat perkemahan. Orang-orang berlalulalang memperhatikan kedatangan dua orang baru diantara mereka. Pandangan kebingungan dan ingin tau akan siapa yang baru saja datang, tergambar jelas diwajah-wajah mereka.

Luna memandang Zean, tersenyum karena berhasil menemukan tempat itu. Lalu, tiba-tiba seseorang memanggil namanya, membuat perhatian keduanya teralihkan pada sosok pemuda yang berdiri di antara kerumunan, memandang penuh keterkejutan pada mereka.

"Aron." senyumnya terbit, tidak bisa merasa lebih senang lagi saat bertemu dengan salah satu teman sekolahnya itu.

Aron berjalan mendekat dan langsung mendekap Luna. Untuk sesaat, hanyut dalam sapaan ringan pertemanan.

"Senang sekali bertemu denganmu dan melihatmu baik-baik saja," kata Luna, benar-benar merasa cemas. Aron menampilkan senyum khasnya.

"Bagaimana kau bisa berada disini? Kupikir kau berada di perkemahan lain bersama Peter dan yang lainnya," ucap Aron.

Luna mengerutkan alisnya nampak bingung "apa ini bukan satu-satunya perkemahan?" Tanyannya. Tapi Aron malah memasang ekspresi bingung.

"Tentu saja tidak, ada perkemahan seperti ini juga di tempat lain, apa kau tidak tau?"

"Jadi, yang lain tidak ada di sini? Janessa? Peter? Haden?" Gelengan kepala atas isyarat tidak membuat bahu Luna turun melemas, euforia yang sebelumnya terasa seketika menguap begitu saja.

"Apa kau tau dimana perkemahan mereka?" Tanya Luna, berharap pada jawaban Aron.

"Kumohon, katakan iya, Aron."

Aron menghembsukan nafas pelan "Maaf karena mengecewakanmu, tapi aku tidak tau. Saat itu benar-benar kacau dan semua orang berpencar untuk menyelamatkan diri. Saat penyerangan itupun, aku tidak melihat Peter ataupun Janessa dan Haden. Maaf Luna."

"Kau tidak perlu minta maaf. Terimakasih Aron karena masih bertahan." Luna tersenyum tipis. Dia melirik Zean dengan wajah sedihnya, lalu kemudian mengalihkan pandangan.

"Luna, apa dia bersamamu?" Tanya Aron serya melirik Zean dengan pandangan skeptis.

Luna mengangguk sebagai jawaban, dapat menangkap kewaspadaan pada sorot mata Aron saat sedang melihat Zean.

"Dia adalah salah satu dari mereka, apa yang kau lakukan dengannya Luna?"

Melihat gelegat Aron yang nampaknya bersiap melempar serangan, Luna segera berdiri di depan Zean dan menghadang pemuda itu "Tidak, tunggu Aron, Zean ada di pihak kita, aku akan menjamin itu."

"Dia sebelumnya berperilaku sebagai murid biasa di sekolah, aku tidak bisa percaya begitu saja meski itu kau yang menjaminnya Luna," sergah Aron.

"Aku tidak akan melakukan hal yang bisa melukai orang lain di sini, jadi kau tidak perlu khawatir," sahut Zean, Aron menatapnya tajam masih tidak bisa mempercayainya.

Luna memegang tangan Zean, dan menoleh padanya untuk menyuruhnya diam.

"Jika kau keberatan, kami akan segera pergi. Maaf karena sudah merepotkan." Luna menarik Zean dan hendak beranjak pergi, tapi panggilan seseorang menginterupsinya dan membuat langkahnya terhenti.

"Ini sudah malam, menginaplah di perkemahan malam ini."

Profesor Darius Walter berdiri di samping Aron. Pria itu lalu memegang bahu Aron dan mengatakan sesuatu padanya "biarkan aku yang mengawasi mereka Aron, kau berkumpulah bersama yang lain."

Aron menggembuskan nafas berat, sesaat tampak ragu untuk pergi, namun tak pelak tetap mengikuti ucapan Profesor Walter. Aron melirik Luna dan Zean sesaat sebelum berlalu pergi menjauh dan bergabung bersama sekelompok orang yang tengah duduk di dekat api unggung.

"Ayo, ada yang perlu kita bicarakan." Profesor Walter berbalik dan berlalu lebih dulu, meninggalkan Luna yang masih merasa skeptis dibelakang. Tapi, tiba-tiba saja Zean meraih tangannya, menggenggamnya dan memberikan senyum tipis seolah mengatakan tidak apa-apa.

Luna menghembuskan nafas halus, akhirnya mengikuti langkah profesor Walter, Zean mengikuti di belekang. Mereka masuk ke dalam salah satu tenda yang ada di sana.

Tenda itu cukup besar dan bisa menampung sekitar lima orang lebih, tapi sepertinya tenda tersebut tidak untuk dijadikan sebagai tempat tidur, sebab saat Luna masuk ke dalam sana, yang bisa dilihatnya hanyalah meja yang cukup besar dan di atasnya terdabat berlembar-lembar parkemen dan peta. Tempat itu lebih mirip seperti ruang kerja.

Ada peta yang cukup besar di sana, peta area sekitar kota hingga perbatasan. Terdapat lokasi-lokasi yang telah diberi tanda silang. Luna mendongkak, menatap Profesor Walter yang juga tengah memperhatikan peta tersebut dengan raut hampir putus asa.

"Aku berusaha mencari lokasi perkemahan lainnya dan juga berusaha menghubungi Kepala Sekolah Dalbert, tapi ada cukup banyak perkemhan dan tidak semuanya bisa dilacak." Profesor Walter kemudian menoleh pada Luna membuat Luna memasang wajah culas, merasa pria tersebut membutuhkan sesuatu darinya.

"Kau punya ikatan emosional dengan Janessa. Kepala Sekolah mungkin saja ada bersamanya." pria itu menjeda ucapannya, menatap Luna dengan pandangan putus asanya yang memohon harapan darinya "aku butuh kau untuk melacak lokasi Janessa agar bisa menemukan di mana kepala sekolah berada."

"Anda akan melakukan sihir pelacak melalui saya?"

Profesor Walter mengangguk "apa kau keberatan? Aku tidak akan memaksa jika kau tidak mau. Tapi ini benar-benar harus dilakukan, dan kau mungkin bisa membantu."

Luna menarik nafas dalam dan menghembuskannya halus, menguatkan mental sejenak, sebab mengetahui dengan pasti bahwa sihir pelacak yang dilakukan melalui ikatan seseorang, bukan hal yang mudah, terlebih bagi dirinya yang digunakan sebagai wadah.

"Baiklah, saya akan membantu, Profesor."

Senyum profesor Walter terbit "jawaban yang bagus. Duduklah di sini," pinta profesor Walter, menyuruh Luna duduk di kursi kayu yang ada di sana. Luna segera duduk dan mempersiapkan diri.

Bibir Profesor Walter bergerak, seiring dengan bacaan mantra, saat kalimat terakhir di ucapkan, tangannya besarnya diletakan dikedua sisi kepala Luna. Sihir pelacak baru akan bekerja saat Zean tiba-tiba menginterupsi.

"Tunggu."

Kening Zean berkerut dalam, memperhatikan peta di atas meja dengan serius "apa maksud tanda x yang berbeda warna ini? Merah dan hitam...." dia kemudian mendongkak, menatap Profesor Walter dengan ekspresi curiga.

Profesor Walter menghela nafas berat "Warna hitam sebagai tanda adanya perkemahan diwilayah itu..." dia menjeda ucapannya sesaat, merasa berat untuk mengatakan kalimat berikutnya "sementara warna merah di simbolkan sebagai tanda bagi perkemahan yang telah diserang."

Luna membelakakan matanya, benar-benar terkejut akan fakta yang baru saja didengarnya "diserang? Kupikir perkemahan adalah tempat aman. Bukankah perkemahan lain juga memakai sihir manipulasi untuk menyembunyikan lokasinya?"

"Yang sedang kita lawan bukan Elementis biasa. Morana punya cara yang lebih mutakhir untuk melacak targetnya," kata profesor Walter.

"Target? Siapa?"

"Seorang pengendali element istimewa. Itu kau, Luna."

To Be Continued


The Ruin Roses ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang