BAB 23 | Resurrection

166 35 2
                                    

Tempat itu sunyi senyap, meski ada cukup banyak orang yang berada di dalamnya. Wajah mereka pucat dan pias, hawa mencengkam dari asap hitam yang melayang-layang terasa begitu menakutkan.

Langkah kaki Lysandra Blackton berjalan menyusuri lantai manor yang dingin. Terdapat tiga tubuh tanpa jiwa yang terbaring dan dibiarkan begitu saja di atas lantai marmer yang hitam. Tidak ada darah, tapi tubuh pucat dan kurus mayat-mayat itu seakan menandakan bahwa jiwa mereka telah direngut dengan paksa.

Seorang wanita berkisar 30-an tahun berlutut dengan wajah basah karena air mata, tubuhnya gemetar, merasakan ketakutan mendalam.

"Kumohon..." nada suaranya bergetar. Tenggorokannya tercekat, rasanya ingin berlari keluar dan menyelamatkan diri, menjauh dari semua orang dalam ruangan itu. Wanita itu kemudian mendongkak ketika menyadari seorang berjubah merah berdiri tepat di depannya.

"Tenanglah, sayang. Tidak akan lama..." suara Blackton mengambang, membuat wanita itu bergidik. Sembari dia menolehkan kepala ke belakang, menatap asap hitam di belakang sana. Bibirnya tertarik, membentuk seringgaian, sebelum dia melangkah, berpindah tepat ke belakang wanita itu, memegang bahunya dan memaksanya tegap.

Nafas wanita itu tercekat, ekspresi wajahnya mengeruh tak kalah menyaksikan detik-detik ketika asap hitam merasuk dalam tubuhnya dan membuatnya mati rasa. Jiwanya seperti tercabik-cabik, segala organ dalamnya seolah terbakar dan sesuatu yang berat mendorongnya begitu kuat dan brutal.

Suara lengkingan kesakitan terdengar, menggema dalam manor, di saksikan puluhan pengikut Mariana yang takjub tapi juga ngeri.

Sepersekian detik berlanjut, dan teriakan itu berhenti. Blackton mengangkat tangan, melepaskannya dari bahu wanita itu. Dia berjalan mengitari wanita yang masih berlutut, kepalanya tertunduk dan matanya tertutup, seolah dia pingsan dalam keadaan masih dengan posisi yang sama.

Ketegangan melingkupi, terasa begitu mencekik, dada Blackton berdebar hebat, merasakan detik yang berubah menit hingga kemudian wanita yang berlutut ahkirnya mendongkak, membuka matanya dan menarik sudutnya bibirnya, menyeringai padanya.

"Sister?"

Lysandra Blackton terdiam dan terpana, sesuatu meletup dalam dirinya, dan itu adalah rasa bahagia yang tak terdefinisi.

Morana bangkit berdiri, kemudian berjalan menghampiri Blackton yang tersenyum bahagia menatap kebangkitannya. Morana meraih sang adik, menariknya dalam pelukan ringan, lantas berbisik di samping telinganya yang sensitif.

"do you miss me sister?" Dan Lysandra tidak bisa lebih bahagia lagi dari pada itu. Dia membalas pelukan Morana erat, menyalurkan kerinduan. Tidak ada orang di dunia ini yang dia cintai dan hormati lebih dari saudarinya, bahkan kedua orang tuanya seklipun.

Mereka melepaskan pelukan. Blackton menyeka setetes air mata yang hinggap di ujung matanya, tersenyum kecil dengan tulus. Hari itu adalah pertama kalinya pengikutnya melihat sang wanita tersenyum begitu hangat.

Pandangan Morana beralih pada puluhan orang dalam ruangan itu, berjalan mengitari ruang kosong di tengah-tengah mereka, memperhatikan wajah-wajah yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Alisnya lantas berkerut, dia berbalik dan menatap Morana.

"Hanya ini?" Tanyanya dengan nada tidak senang "di mana orang-orangku?"

Blackton menggigit bibirnya, sesaat merasa ragu untuk memberi tau "setelah mengurumu dalam black pearl, Evergreen dan ZA yang mendukungnya menangkap semua orang yang mengikutimu lalu memerangkap mereka dalam lukisan. Tidak ada yang mengetahui mantra kuncinya kecuali Evergreen sendiri."

Detik itu, suara jeritan menggema di seluruh Manor. Blackton memejamkan matanya takut. Para pengikut berjengit terkejut, beberapa mundur ke belakang, mereka mengeruhkan ekpresi wajah.

"Dan di mana wanita itu berada sekarang?" Suaranya menuntut, sedikit dengan geraman kemarahan.

"Dia juga menjebak dirinya dalam lukisan agar bisa membantu keturunannya untuk melawanmu, melawan kita," kata Blackton lagi, nafasnya memberat, emosinya juga ikut tertarik.

Morana tersenyum miring "wanita bodoh itu..." dia terkekeh "apa dia kira, anak ingusan itu bisa menang jika melawanku. Dia pasti bercanda," kata Morana sembari melihat para pengikut lalu kemudian tertawa keras sekan baru mendengar sebuah lelucon. Beberapa orang pengikutnya juga tertawa dan yang lain menyusul kemudian. Tapi Blackton hanya diam, tidak ikut serta dalam ria seperti yang lainnya, hingga Morana menyadarinya dan menyuruh para pengikut diam dengan satu kibasan tangan.

Wanita itu mendekati adiknya, meraih pipinya dan membuatnya menatap padanya. "Ada apa? Apa kau takut pada anak itu? Apa kau tidak percaya bahwa aku, bahwa kita akan menang? Katakan padaku Blackton, bahwa dugaanku salah. Anak itu katamu bahkan belum mampu mengontrol element istimewa miliknya, jadi apa yang perlu kau takutkan?"

Blackton menatap kakanya dalam keraguan sampai dia ahkirnya menghela nafas berat "aku belum mengatakan sesuatu padamu," katanya. Alis Morana berkerut, dia menurunkan tangannya dari pipi sang adik dan menatapnya dengan keingin tahuan yang menuntut jawaban.

"Katakan padaku, sesuatu yang masih kau simpan dan sembunyikan." nada suaranya menjadi dingin dan berbahya, dan Blackton mulai takut saat menatap ekspresi Morana yang berubah.

"Gadis itu tidak hanya seorang ZA dengan element istimewa," dia memulai. Memberi tau dengan perlahan.

Morana menggeram, semakin tidak sabar.

"Tapi dia juga adalah inang, wadah dari roh element" Blackton menatap sang kakak yang diam dengan wajah mengeras. Tangan Morana terkepal, giginya bergemelatuk, dia mengulum bibirnya yang sedikit bergetar. Mendelik pada Blackton yang mengeruhkan ekspresi wajahnya.

Dalam sekejap, tangan Morana bergerak mencekik leher Blackton, mengangkatnya hingga kakinya tidak bisa menyentuh lantai. Para pengikutnya yang menyaksikannya terkejut, semakin mudur karena ketakutan dan ngeri.

Mata Morana melotot, mencengkram leher Blackton begitu kuat seakan hendak meremukan setiap bembuluh di dalamnya.

"Dia menyimpan sebuah bom di dalam dirinya dan kau baru memberitaukan hal penting itu padaku?"

Blackton mengeruhkan wajahnya, dia kesakitan, memegangi tangan Morana yang masih mencengkram lehernya dengan kuat "ma...maaf, a...aku...hanya me...nunggu...waktu...yang...tepat, un...tuk...bisa mengatakannya...padamu" Blackton berkata susah payah, wajahnya sudah memucat, seakan bembuluh darahnya terhambat sehingga darah tidak bisa naik ke wajahnya untuk membuatnya memerah.

Tangan Morana berhenti mencengkram dan dia menurunkan Blackton kembali menapaki lantai. Blackton segera terbatuk-batuk sembari memegangi lehernya yang sakit.

Morana mengeruhkan ekapresi wajahnya, berbalik membelakangi Blackton yang masih membungkuk dan batuk-batuk. Wanita yang baru saja dibangkitkan itu mengepalkan tangannya kuat, menatap para pengikutnya dengan berwibawa dan begitu penuh percaya diri.

"Di dalam diri anak itu ada salah satu dari roh element. Dan karena keistimewaanya adalah es, sudah pastilah itu adalah White Frost. Satu dari empat roh yang memiliki kekuatan hebat..." Ujung bibir Morana tertarik membentuk seringaian "dan aku akan menjadi orang yang memilikinya selanjutnya."

"Bawa anak itu padaku dalam keadaan utuh, aku membutuhkannya tetap hidup untuk mengambil alih the white frost darinya."

To Be Continued

To Be Continued

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Ruin Roses ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang