BAB 48 | In Mind

96 14 0
                                    

Saat itu hari nyaris menjelang pagi, Zean menyelinap masuk ke dalam pondok bersama Janessa, Peter, Haden, Liam dan Felora. Zean melirik ke arah dipan, tidak melihat keberadaan Freya yang sebelumnya duduk termenung di sana. Kakaknya pasti sudah tidur.

Pondok senyap dan sunyi. Zean membawa teman-temas Luna masuk ke dalam kamarnya, dimana Tatiana tengah tertidur pulas. Saat ini adalah kesempatan mereka. Zean sudah menunggu lama untuk bisa merealisasikan rencanannya.

Pandangan Janessa menyendu saat melihat tubuh sahabatnya. Itu adalah Luna, wajahnya masih sama seperti terahkir kali Janessa melihatnya. Janessa menoleh pada Haden ketika merasa pemuda itu menggenggam tangannya, seolah memberikan semangat.

"Kami akan masuk, kalian berjaga jika saja terjadi sesuatu," kata Zean. Dia memandang satu persatu wajah-wajah di sana. Peter mengangguk sebagai jawaban. Zean lalu mengulurkan tangan ke arah Janessa, menunggu sambutan dari gadis tersebut yang nampaknya ragu.

Janessa menarik nafas dalam dan menghembuskannya. Memantapkan hati sebelum melepas tautan tangannya dengan Haden dan menerima uluran tangan dari Zean. Mereka kemudian mendekati tubuh Luna yang terbaring di atas ranjang, menatap wajah tidurnya yang damai.

"Kau siap?" tanya Zean dengan bisikan. Janessa mengangguk tanpa menoleh, tidak sedikit pun mengalihkan pandangan dari tubuh Luna.

Jenessa kemudian berbaring di samping tubuh Luna, sementara Zean bergerak menuju kepala ranjang, memposisikan diri dengan duduk dibangku yang ada di sana. Pemuda itu menarik nafas dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Mengambil konsentrasi penuh sebelum meletakan kedua tangannya di samping kepala Luna dan Janessa. Menutup mata dan berusaha mengambil kontrol.

Sesaat kemudian, saat Zean kembali membuka matanya, dia sudah berada di tempat lain. Tempat itu dipenuhi salju, warna putih terhampar memenuhi tempat yang tak berujung. Kemudian Zean sadar akan keberadaan Janessa, menjadi sedikit panik sampai dia melihat seseorang terbaring di atas salju beberapa meter di depannya. Zean segera berlari menghampiri, segera berlutut membangunkan orang tersebut yang rupanya adalah Janessa.

Janessa membuka matanya, melihat keadaan sekitar sebelum menoleh pada Zean dan menerima bantuan dari pemuda tersebut untuk bangkit berdiri.

"Ini alam bawah sadar Luna? Kita berhasil?" Mata Janessa berbinar.

Zean mengangguk. "Tapi ini bukan alam bawah sadar Luna." Zean memperhatian keadaan sekitar untuk beberapa saat sebelum kembali memandang Janessa "ini alam bawah sadar Tatiana." Ekapresi wajah Janessa segera mengeruh begitu mendengar perkataan Zean.

"Kita perlu melakukan satu tahap lagi agar bisa masuk lebih dalam."

Janessa mengernyitkan alis "Satu tahap lagi? Apa lagi yang harus dilakukan?"

"Satu tahap lagi, kalian harus mengalahkan aku lebih dulu," sahut sebuah suara.

Perhatian Zean dan Janessa beralih. Sosok berwujud serupa manusia es berdiri beberapa meter di depan mereka. Tatiana berjalan lenggak lenggok mendekati dua penyelinap yang masuk dalam alam bawah sadarnya tanpa izin. Wajah es nya tersenyum manis dan meremehkan.

"Aku sudah menduga kau pasti akan melakukan ini, Zean sayang. Aku menunggu kapan kira-kira kau akan melakukannya, dan ternyata hari ini? Kau licik juga, melakukannya disaat aku tidur." Tatiana tertawa, tawanya menggema seakan ada dinding yang mengelilingi tempat itu dan memantulkan suara tawanya.

"Aku juga tidak menduga bahwa kau akan mengajak gadis ini bersamamu. Ingin membujuk Luna Fletcher agar mau kembali?" Tatiana menggelengkan kepala prihatin "sayang sekali, bahkan jika dia ingin kembali menguasai tubuhnya, dia harus melawanku lebih dulu." wanita itu menyeringai "menyerah saja."

Tangan Janessa terkepal, kesal dengan peragai sombong dan rasa percaya diri mahluk di depannya. Sudah sampai sejauh ini, Janessa tentu tidak akan menyerah begitu saja sebelum ia berhasil menarik Luna dari jeratan mahluk menyebalkan ini.

"Kami tidak akan menyerah," kata Janessa lantang.

Tatiana menghembuskan nafas berat dan mengangguk-anggukan kepalanya "sudah kuduga. Kalian memang bodoh karena lebih memilih untuk melawanku."

Badai salju tiba-tiba menerpa tempat itu yang kemudian berubah menjadi batu es yang menghujami tempat Zean dan Janessa berdiri. Berusaha menghindari serbuan batu es, Zean menggunakan elemen lava miliknya untuk membuat kubah. Lava kamudian mengeras dan membentuk pertahanan untuk mereka.

Janessa panik, memikirkan cara untuk lolos dari hujaman batu es yang tampaknya tidak akan berhenti. Satu batu es berhasil menembus lava yang mengeras, hampir mengenai Janessa kalau saja gadis itu tidak bergerak cepat menghindar. Gadis itu kemudian berlutut dan meletakan tangannya di atas permukaan salju, perlahan mengalirkan air keluar dari kubah lava, memejamkan mata untuk mengira-ngira sejauh apa tempat Tatiana berada. Zean memperhatikan apa yang sedang dilakukan Janessa sembari tetap mempertahankan kubah lava untuk melindungi mereka.

Merasa sudah cukup, Janessa membuka matanya kembali, sorot matanya menjadi fokus. Dia kemudian mengangkat tangannya dari permukaan salju, mengerahkan seluruh tenaganya dan menghentakan tangannya kembali ke permukaan salju.

Ditempatnya berdiri, Tatiana melihat kebawah saat merasakan getaran. Ekspresinya kebingungan, mencoba mencari tau apa yang membuat tanah bergetar. Kemudian mata air tiba-tiba muncul tepat di antara kakinya, menyadari apa yang terjadi, Tatiana membelakakan matanya. Namun belum sempat dia menghindar, air mancur berskala besar mencuat dan mengangkatnya naik ke atas. Membuat Tatiana kehilangan kontrol atas kekuatannya sehingga batu es yang menghujami Zean dan Janessa berhenti.

Kuba lava menghilang dan Zean serta Janessa legah juga senang melihat sosok berwujud manusia es tersebut terkena elemen Janessa. Air membumbung tinggi dan semakin tinggi sebelum ahkirnya menghilang secara tiba-tiba dan sosok itu jatuh dari ketinggian beberapa kaki. Belum sempat tubuh es Tatiana menghantam tanah, Janessa mengurungnya dalam bola air.

"Chaster, pergilah lebih dulu, biar aku yang mengurus wanita ini," kata Zean. Janessa berbalik dan melihat pintu yang sepertinya terbuat dari es berada semeter dari tempat mereka. Janessa menoleh pada Zean dan mengangguk. Segera berlari menuju pintu, namun sesaat dia berhenti dan menoleh ke belakang, melihat bola air yang mengurung Tatiana perlahan berubah menjadi es. Ekspresi wajah Janessa mengeruh dan dia berdecak kesal, menoleh pada Zean sejenak. Berpikir apakah pemuda itu mampu melawan Tatiana yang merupakan roh elemen yang telah hidup selama berabad-abad.

Janessa menggelengkan kepala, mencoba agar tidak merasakan simpati pada pemuda Valture tersebut. Memantapkan hati dan tetap teguh pada pendiriannya, Janessa kembali berlari menuju pintu dan mendobraknya

To Be Continued

To Be Continued

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Ruin Roses ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang