BAB 31 | The Subconscious

131 25 0
                                    

Dia berbaring terlentang, merasakan air berderak dan menyentuh kulitnya. Tak ada siapa pun kecuali dirinya. Tempat itu kosong, terang dan segalanya berwarna putih. Dia sendiri tak yakin berada dimana.

Suasana sunyi senyap. Dia tidak bisa merasakam udara, tidak panas tidak juga dingin. Tempat itu seperti ruang hampa tak berujung. Lama sesudahnya, Luna menyadari sesuatu. Matanya mengejrap-ngejrap sesaat, lantas bangkit dari posisi berbaringnya. Bunyi riak air terdengar ketika dia menapakan kaki dan melangkah perlahan. Memperhatikan segala arah, tidak ada sudut, tidak ada ujung, hanya sesuatu yang tampak seperti kehampahan putih.

Dia sendirian di sana, dia tidak merasa takut atau cemas. Dimatanya, tempat ini asing, tapi tubuhnya berbicara seakan dia pernah berada di tempat ini sebelumnya.

Tidak ada sesuatu yang terlihat sejauh mata memandang atau sejauh apa dia melangkah. Rasanya, Luna telah berjalan jauh dari tempat dirinya terbangun, tapi segalanya tetap sama seperti dia benar-benar tidak pernah pergi ke tempat lain. Selain itu, dia tidak merasa lelah sedikit pun.

Berhenti dan memperhatikan tempat itu sekali lagi, Luna menunduk dan melihat ke lantai berair tempatnya berpijak. Dia melihat pantulan dirinya sendiri, dalam gelombang-gelombang riak. Dia menatap arah yang sama dan seperti tergoda untuk memperhatikan lebih dekat, maka dia menunduk, menjulurkan tangan menyentuh permukaan air. Sesaat setelahnya, sesuatu menariknya, sesuatu yang tampak seperti tangan pucat.

Tubuh Luna terserap masuk, melewati lantai berair dan muncul kembali ditempat yang sama, tempat putih itu lagi, tapi kini seseorang bersamanya. Seseorang yang dia kenal.

"Hanna?"

Perasaanya melambung tinggi, berdebar dan menimbulkan euforia. Wanita di depannya tersenyum, dan Luna segera menabrakan diri memeluk sosok Hanna.

Apa dia ahkirnya mati, apa White Frost ahkirnya pergi meninggalkan tubuhnya dan membiarkan dirinya mati? Entah bagaimana ini terjadi, tapi tidak sedikit pun Luna merasa sedih. Mungkin karena dia melihat seseorang yang dia kenal di sini, seseorang yang dia rindukan.

Luna mendekap erat, tersenyum dalam kebahagiaan asing. Berapa lama dia tidak merasa seperti ini? Bahagia dan perasaan merindukan rumah tempatnya pulang.

"Aku merindukanmu, jangan tinggalkan aku lagi."

Udara seketika berubah dingin, uap keluar dari mulutnya ketika dia bicara.

"Aku tidak akan meninggalkanmu, Luna."

Sahut suara familiar. Bukan suara Hanna, tapi suaranya, suara Luna. Tapi bukan dia yang bicara.

Luna menarik diri dari pelukan Hanna, memandangi sang Bibi yang berdiri tegak dan tersenyum, tapi tatapan matanya kosong. Kening Luna berkerut, dia kemudian berbalik dan menemukan sosok Ayah nya berdiri tidak jauh darinya. Pria itu dalam posisi yang sama dan dalam keadaan yang sama pula. Seperti tanpa nyawa, seperti patung. Lalu di sisi lain, Luna melihat seseorang lagi.

Dia melangkah mendekat, berjalan amat perlahan dengan jantung berdetak. Semakin dia mendekati orang itu, semakin perasaannya bercampur aduk.

Sosok wanita berambut coklat, dengan iris karamel yang memukau. Larissa Navier berdiri bak patung, tersenyum tapi tatapan matanya kosong. Luna menelan ludah, mengeruhkan ekspresi wajah sedih. Tangannya terjulur, hendak menyentuh tangan sang Ibu ketika suara yang sama menginterupsi.

"Apa kau ingin bersama mereka, Luna?"

Dia terkejut dan berbalik. Sosok itu berdiri sekitar sepuluh langkah di depannya. Bagaikan refleksi dirinya, tapi dengan tubuh terbalut es, rambut panjang seputih salju dan mata beku yang menyorot datar. Sosok itu tidak menampilkan ekspresi yang menonjol, tampak seperti boneka. Berjalan pelan mendekatinya.

"Aku bisa melakukannya, tapi akan ada bayaran untuk itu."

Jarak antara mereka semakin pendek. Entah bagaimana Luna tetap diam di tempatnya, seakan diprogram untuk menunggu refleksi dirinya mendekat.

"Kau akan tenang bersama orang-orang yang kau cintai di sini." Suaranya tenang dan jelas "aku akan memberikan tempat yang lebih baik dari pada kehampahan kosong."

Semakin dekat, dan jantung Luna berpacu semakin cepat. Dia tidak bisa menghitung waktu, rasanya seperti dia berada ditempat di mana waktu tidak berputar.

"Kau di sini, mendapatkan kebahagiaan yang kau inginkan. Lalu, biarkan aku menangani yang di luar."

Sosok itu berhenti di depannya, berjarak dua langkah darinya. Tatapan Luna beralih pada Hanna, lalu pada Ayah nya. Ekspresi wajahnya mengeruh dan dia berbalik, melihat Ibu nya. Hasrat memaksanya untuk egois, Luna bisa memilih berada di sini, bersama keluarganya, bersama Ibu nya yang dia rindukan, tapi akal sehatnya berkata lain. Logika memaksanya melihat ke luar, pada orang-orang yang sama berharga. Pada Janessa, Haden, Peter dan yang lainnya.

"Kau akan mendapatkan segelanya yang kau inginkan di sini. Tidak ada luka, tidak ada kesedihan dan tidak akan ada rasa sakit. Hanya kebahagian."

Kata-katanya terdengar menggairahkan, terasa begitu nyata dan Luna sanggup meraihnya kapan pun dia ingin. Tidak ada luka, kesedihan dan rasa sakit. Bukankah dia menginginkan hidup yang seperti itu?

Rasa dingin semakin menusuk, kian lama semakin membekukan. Seperti berada di tengah-tengah kutub utara tanpa sehelai benang pun dan badai menerpa tanpa jeda.

"Di luar sana penuh luka dan rasa sakit. Tidak ada kebahagiaan untukmu di luar sana. Maka biarkan aku yang menangani, aku lebih dari sanggup."

Dia merenung, memikirkan setiap kata-kata refleksi. Dia tersenyum, terbuai oleh apa yang di tawarkan. Hidupnya akan bahagia di sini.

"Luna..."

"Luna..."

"Luna Flatcher"

"can you hear me?"

Seseorang menyentuhnya, Ibu nya menyentuh bahu Luna, dan wanita itu tersenyum. Sorot kosong berubah menjadi tatapan penuh kasih sayang. Dan Luna terbuai. Dia tersenyum tanpa menyadari bahwa es merambat dari permukaan lantai, membalut kakinya, naik semakin tinggi, membekukan.

"Aku akan bahagia di sini."

"Benar, kau akan bahagia di sini," sahut suara yang semakin menjauh.

Perlahan-lahan, sosok Hanna dan Anthony Fletcher membeku dan kemudian berubah menjadi patung es. Kabut serupa badai salju muncul dari tempat sosok refleksi menghilang. Menjalar, menelan Hanna dan Anthony, merambat semakin dekat ke arah Luna tanpa di sadari.

Lalu, kabut itu menelannya, menjerumuskannya dalam kebahagiaan palsu yang terasa nyata.

To Be Continued

To Be Continued

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Ruin Roses ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang