BAB 11 | Fierce Battle

297 73 1
                                    

Seperti sebuah hitungan mundur tak kasat mata saat mereka yang bersembunyi dan telah bersiap, keluar dan melemparkan serangan.

Para antek Blackton yang tak siap, sebagian terlempar menjauh. Sesaat kemudian, mereka mulai memasang badan dan memulai pertempuran sengit.

Blackton menggeram murka, tidak teriama atas trik licik dan kekanak-kanakan itu. Dia menyerang Alfred Dalbert dan segera berlari menuju ke arah Luna saat dia melihat si gadis es di antara pertempuran. Namun, sebelum Blackton sempat meraih Luna, sebuah serangan yang berasal dari Alfred Dalbert menghadangnya.

Tembok api menglilingi Blackton, mengurungnya dalam kobaran api yang ganas miliki Alfred Dalbert. Namun, sesaat kemudian, api-api itu padam oleh gelombang air yang mematikan segalanya.

Blackton berbalik, dia dan Alfred Dalbert saling berhadapan. Ekspresi wajah keduanya telah berubah serius. Pertanda siap untuk saling menyerang. Namun lebih dari pada itu, sorot mata Blackton mengisyaratkan dalam bahwa ia berniat membunuh lawannya.

Tapi Alfred Dalbert tak gentar sedikit pun. Meski wajahnya kelihatan serius, dia masih tampak begitu tenang dan terkontorol, seakan dalam pikirannya masih memikirkan rencana matang. Blackton merasa kesal dan marah, tidak pernah sedikit pun dia tidak iri pada segala pencapaian Alfred sejak mereka masih duduk di bangku sekolah.

Alfred selalu berada di peringkat pertama dan selalu mahir melalukan segala hal, sementara dirinya selalu berada di urutan kedua meski memiliki kemampuan tidak beda jauh.

"Aku akan membunuhmu." Suara geramannya pecah. Blackton melemparkan serangan pertama kali dalam suasana hati yang penuh dendam. Kali ini dia merasa bangga, sebab dirinya telah memiliki lebih dari satu element. Dia unggul jauh dari Alfred dan itu menguntungkannya. Tapi, dia tidak tau bahwa yang seharusnya dia khawatirkan bukan penguasaan element yang Alfred kuasai, melainkan otak cerdasnya yang selalu punya cara cerdik untuk memenankan pertarungan.

Gelombang air menyapu tanah, sangat tinggi seperti gelombang laut untuk berselancar. Gelombang itu mengarah ke arah Alfred. Morana menyeringgai, saat dia mengepalkan tangan dan membungkus tubuh Alfred dalam bola air tanpa udara. Tapi, saat dia melihatnya lagi, bola air itu kosong dan Alfred tidak terkurung di sana seperti yang dia rencanakan. Sebaliknya, pria itu telah berada tidak jauh dari lokasi serangan dan melemparkan panah api pada Blackton.

Panah-panah api datang secara beruntun dan Blackton kesusahan menangani serangan cepat itu. Tanpa sadar Blackton berjalan mundur, wajahnya mengeruh marah. Lalu panah-panah itu berubah menjadi bola-bola api yang kemudian meledak saat hampir mencapai teritori Blackton, mengejutkan wanita itu sehingga dia jatuh terduduk di atas tanah yang kotor.

Lengkingan suaranya begitu nyaring. Dia merubah posisinya dan menepuk tanah. Lalu, tanah-tanah itu mencuat dan membentuk tombak-tombak tajam yang terus muncul hingga mencapai tempat Alfred beridiri.

Dengan refleks cepat, Alfred dapat kembali menghindari seragan dari Morana, membuat wanita itu semakin tersulut kemarahan.

Blackton menghujami Alfred dengan bola-bola api yang jatuh dari atas layaknya hujan, dan Alfred menahannya dengan membuat lingkaran penghalang di atasnya.

Pusara angin menerbangkan debu-debu halus dan merontokan dedaunan, kecepatannya menyaingi refleks Alfred sehingga pria itu masuk dalam pusaranya yang dasyat. Kepalanya terasa pusing dan isi perutnya seperti dikocok dari dalam, membuatnya merasakan mual tak tertahan.

Suara tawa Blackton terdengar semar. Di sana, suara angin yang berputar lebih mendominasi. Alfred hampir kesusahan  saat dia berusaha mengambil kontrol atas gerak tubuhnya. Pria itu membuat bola api besar, sebesar mungkin sehingga menyaingi besar angin yang berputar mengurungnya, lalu meledakannya.

The Ruin Roses ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang