Mereka berempat saling mendekat, membuat lingkaran kecil dan saling berpegangan tangan. Bersiap untuk teleportasi.
Tapi tiba-tiba saja, seseorang menarik Janessa kebelakang, memaksa jalinan tangannya dengan teman-temannya terlepas. Janessa melihat mereka bertiga hilang, pergi begitu saja tanpanya. Saat Janessa hendak berbalik untuk melihat sang pelaku, kepalanya lebih dulu dipukul dengan cukup kuat hingga membuatnya hilang kesadaran.
Mungkin sudah beberapa menit berlalu, atau mungkin berjam-jam. Sesaat setelah Janessa bangun dan merasakan sedikit rasa perih dan pusing pada kepalanya, dia mendapati dirinya berada di sebuah ruangan kosong nan gelap, terkurung sendirian.
Tidak ada ventilasi, satu-satunya tempat dimana Janessa bisa melihat cahaya, hanyalah dari celah pintu yang juga menjadi satu-satunya jalan keluar.
Mengerahkan seluruh tenaganya yang hampir terkuras, Janessa bangkit berdiri, menyeret langkah beratnya menuju pintu. Tersisa beberapa langkah saat Janessa hampir menggapai pintu tersebut ketika pintu itu tiba-tiba saja berayun terbuka, didorong seseorang dari luar.
Janessa mundur, cahaya yang amat menyilaukan menyerang indra penglihatannya yang sedikit sensitif. Bayangan seseorang mendekatinya, tiap langkahnya membuat Janessa semakin penasaran. Tapi saat dia benar-benar melihat wajahnya, dia tidak mengenalinya.
Wajah orang itu asing, Janessa belum pernah bertemu dengannya. Dia seroang laki-laki dengan tinggi dibawah rata-rata. Bertubuh sedikit kekar dan memiliki janggut tipis.
"Hello, girl."
Janessa menatap orang itu dengan pandangan tajam, ada perasaan was-was saat orang itu melangkah perlahan mendekatinya.
"Who are you?"
"Kau sangat mirip dengan seseroang yang kukenal." Bukannya menjawab, pria itu malah membahas hal lain.
Janessa mengambil langkah mundur saat orang itu berjalan selangkah demi selangkah mendekatinya. Dia menyembunyikan tangannya yang siap menyerang dibelakang tubuhnya.
"Aku ingat. You're Jenna's daughter, right?"
Kening Janessa berkerut "kau mengenal ibuku?"
"Apa kau tidak mengenaliku?" Tanya pria itu. Dia memiringkan kepala, menatap Janessa cukup lama, menunggu jawaban darinya. Beberapa menit tidak mendapatkan jawaban selain dari kerutan kebingungan Janessa, pria itu terkekeh pelan.
"That damn, bastard," gumam pria itu, melontarkan makian pada seseorang.
"Aku mendengar tentangmu dari Bill, kau mengenalnya bukan? Bill Grover."
Janessa tentu saja mengenal Bill Grover, si brengsek sialan yang menyerang mereka di kediaman Anne Raffles sebelum penculikan Luna terjadi.
"Kau benar-benar mirip ibumu, Jane. Aku jadi ingin melihat bocah yang satunya lagi. where he is?" Tanya pria itu.
Janessa menggeram. Pria ini juga mengenal Nathan. Siapa sebenarnya dia? Janessa amat penasaran.
"Siapa kau? Bagaimana kau mengenal ibuku?" Tanya Janessa, dengan berani kini mengambil langkah maju.
Pria itu tertawa, seolah mengejek ketidak tauhan dan kebingungan Janessa "I'm Jason Gray--" menggantung kata-katanya, pria itu menyeringgai "i'm Jenna's brother."
•••
Haden, Finn dan Noah tiba di titik teleportasi yang sebelumnya digunakan Haden bersma Peter dan Luna. Mereka memperhatikan keadaan sekitar. Bekas api unggun yang mereka buat masih ada di sana, tapi mereka tidak melihat keberadaan Janessa, atau bahkan melihat petunjuk kemana gadis itu pergi.
"Mereka membawanya," ujar Finn, seketika merasa kalut. Firasat buruk masih juga menganggu pikirannya. Dia kemudian mengumpat keras "Sialan!"
"Calm down, Finn. Kita periksa dulu disekitar sini," kata Noah, menepuk punggung Finn sekilas.
Finn menghela nafas berat, mengangguk. Mereka kemudian mulai mencari di sekitar area tersebut, berharap menemukan Janessa atau setidaknya mendapatkan petunjuk kemana gadis itu pergi.
"Dia tidak ada di sini, dugaanku benar. Mereka pasti membawanya," ucap Finn. Dia mulai frustasi.
"Untuk apa mereka membawa Janessa? bukankah yang mereka inginkan adalah Luna?" tanya Haden tidak paham.
"Bukan Morana," jawab Finn. Tapi bukannya paham, kerutan didahi Haden semakin dalam.
"Finn." Noah menatap Finn, mencoba merkomunikasi lewat tatapan. Dan jawaban Finn membuatnya menghembuskan nafas berat.
"Itu dia, ya?" kata Noah dengan nada serupa gumaman.
Haden menatap antara ayahnya dan Finn Chaster, menduga bahwa kedua pria ini pasti mengetahui sesuatu dibalik hilangnya Janessa.
"Pria itu selalu menginginkan Jane dan Nathan sejak Jenna meninggal." Finn menghela nafas berat, memalingkan pandangan, tampak begitu frustasi "keluarga Chaster adalah salah satu dari tiga keluarga yang memiliki element dan pengontrolan elemen yang kuat. Dia menginginkannya. Itu sebabnya dia bergabung dengan Blackton agar bisa mempelajari sihir penyerapan."
Untuk beberapa saat, Haden terdiam setelah mendengarkan penjelasan Finn Chaster "dia akan membunuh Janessa?"
"Ya, Haden. Orang itu memang sudah gila," ucap Finn geram.
"Bagaimana dengan Jonathan?" Tanya Noah.
"Nathan tidak ingin berhubungan dengan element, dia tidak mau sekolah di Alter. Katanya ingin hidup normal, karena itu dia pergi ke Callifornia untuk melanjutkan study di sana." Finn menghembsukan nafas berat "kali ini, aku setuju dengannya. Keadaan ini sangat menyusahkan dan menyebalkan."
"Tenang saja, dia aman di sana." Finn menjawab cepat saat Noah hendak mengatakan sesuatu, seolah membaca isi pikiran pria itu. Noah mengangguk legah.
"Jika yang menculik Janessa adalah orang itu, maka kita harus cepat menemukannya," ucap Noah.
"Aku tau tempat yang mungkin mereka tempati. Tujuan Jason tidak ada sangkut pautnya dengan Morana atau Blackton, dia menjalankan rencana ini hanya bersama Bill Grover," ucap Finn memberitau.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Ayo segera ke sana."
Finn memegang tangan Noah dan Haden, membawa mereka berteleportasi ke tempat Jason mengurung Janessa.
Sebuah rumah megah yang dikelilingi taman luas nan indah. Manor Gray.
"Bukankah ini terlalu mencolok?" Ucap Noah, menatap Manor Gary dengan pandangan skeptis.
"Tipikal Jason," kata Finn.
Haden mengepalkan tangannya, wajahnya mengeruh serius. Dia menggeram. Melangkah dengan penuh amarah menuju Manor.
"Tunggu Haden!" Teriak Finn mencegat langkah Haden, membuat pemuda itu berhenti dan berbalik. Noah menghela nafas berat saat melihat amarah di wajah anak laki-laki itu, sangat jelas.
"Hati-hati dengan langkahmu, boy."
Sebuah suara menginterupsi, menarik perhatian ketiga orang di sana. Mereka menoleh ke arah seorang pria yang berdiri di balkon lantai dua Manor. Bill Grover tersenyum miring menatap para tamu di bawah sana.
"Hi, losers. welcome to hell."
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ruin Roses ✓
Fantasy[ The Elemental Trilogy | Book 2] Peristiwa terahkir memberikan pukulan besar bagi mereka, terutama untuk Luna yang kehilangan satu-satunya keluarga. Kepergian Hanna Fletcher menjadi titik balik dari keenganan Luna untuk kembali melibatkan diri dala...