BAB 34 | Control Holder

119 24 3
                                    

Zean tidak lagi mendengar suara tangisan Freya setelah suara pintu yang ditutup keras terdengar. Freya telah pergi keluar dari pondok, mungkin ingin menenangkan diri.

Perhatian pemuda itu kemudian beralih pada Luna yang masih tertidur di atas ranjang. Menghela nafas berat, Zean melangkah mendekat, duduk di samping ranjang dan memperhatikan wajah gadis tersebut. Membelai wajah pucat Luna perlahan dan pelan, seolah kulitnya akan tergores jika dia tidak berhati-hati.

Tatapan Zean menyendu. Sudah tiga hari Luna belum sadarkan diri dan sudah tiga hari pula Zean tidak pernah meninggalkan pondok. Freya selalu mengawasi sementara Violet semakin acuh tak acuh. Keadaan diluar juga mungkin semakin kacau.

Teman-teman Luna pasti sedang mencarinya. Tapi mereka tidak akan menemukannya selama Luna berada di pondok ini. Zean telah membuat sihir manipulasi disekitar pondok dan hanya memberikan akses terbatas.

Kondisi Luna semakin membaik, tapi kekhawatiran Zean justru semakin meningkat. Rambut seputih salju dan kulit pucat Luna membuatnya semakin menyerupai wujud White Frost. Zean tidak pernah lupa saat dia pertama kali melihat tubuh Luna berubah. Zean juga memiliki iblis yang bersemayam dalam dirinya, Fire Phoenix tidak pernah memberikan dampak yang baik dan Zean berfikir, White Frost pun juga demikian.

Dalam sejarah, tidak ada roh yang pernah tercatat sebagai pemberi kebaikan. Hanya kekuatan, kekuasaan dan keserakahan, tiga kata yang selalu tersemat dalam setiap buku yang membahas mengenai para roh element. Darinya, Zean bisa menyimpulkan bahwa roh-roh element hanya sebuah malapetaka. Zean dan Luna adalah dua orang yang tidak beruntung karena harus menanggung malapetaka tersebut.

Tiba-tiba saja, tubuh Luna bergetar, tampak seperti getar menggigil. Suhu dingin menguap disekitar tubuh Luna dan kulitnya kembali dingin seperti membeku. Zean membelakakan matanya, cemas menyergapnya dengan cepat. Dia memegang pipi Luna, menghiraukan tangannya yang rasanya seperti membeku. Memanggil-manggil nama sang gadis dengan kekhawatiran tiada tara.

"Luna?"

"Luna?"

"Luna Flatcher?"

"Can you hear me?"

Lalu, mata gadis itu terbuka, sekilas Zean melihat bola matanya seperti membeku sebelum kembali berubah normal. Tubuh Luna berhenti bergetar, dan suhu dingin perlahan mereda hingga ke batas normal. Kulitnya tidak lagi pucat. Segalanya hampir normal kecuali rambut seputih salju yang seperti telah permanen. Mata kelabu itu mengerling, menatap Zean cukup lama, sebelum bibir semerah delima ahkirnya tersenyum. Luna bangkit dari posisi berbaringnya, segera memeluk Zean tanpa aba-aba, mengejutkan sang pemuda yang kini memasang ekspresi kebingungan.

"Luna?" Panggil Zean, bukan suara yang membalasnya, melainkan pelukan yang semakin erat.

"Aku merindukanmu," bisik sang gadis. Zean merasakan geli pada ceruk lehernya saat Luna bicara.

"Kau baik-baik saja?" Tanya Zean.

Zean merasakan gerakan lagi, Luna mengangguk dan berdehem sebagai jawaban "Hemm."

Gadis itu kemudian melepaskan pelukannya, menatap wajah Zean dengan ekspresi cerah dan senyum lebar "apa kau tau bertapa aku merindukanmu?" katanya. Dia mengangkat tangan, menangkup pipi Zean "sudah sangat lama, aku tidak percaya aku akan melihatmu lagi." Tatapannya berubah sendu dan seperti menilik setiap titik diwajahnya, mencermatinya dengan hati-hati.

"Aku akan membuatkan makanan untukmu, kau pasti lapar karena baru bangun setelah tiga hari." Zean memegang tangan Luna, membawanya turun dan lepas dari pipinya. Dia lantas bangkit berdiri, tersenyum tipis sebelum berlalu keluar dari kamar.

Saat pintu tertutup sepenuhnya, ekspresi wajah Zean berubah. Dia merasakan keanehkan terhadap sikap Luna. Sikapnya tidak seperti biasanya. Zean menghela nafas berat, dia akan memikirkan hal itu nanti, sekarang sebaiknya dia membuatkan makanan untuk Luna.

The Ruin Roses ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang