Di tengah malam, Luna terbangun. Ia tersentak oleh mimpi buruk. Peluh membasahi dahinya, napasnya putus-putus dengan jantung berdetak hebat.
Di dalam mimpi itu, Luna melihat teman-temannya, jatuh ke lubang hitam, dimana di dalamnya terdapat rasa sakit, keterpurukan, dan kehancuran.
Kota yang sudah ia anggap sebagai tempatnya pulang, hangus terbakar, menyisakan debu yang hilang tertiup angin. Porak poranda, seperti di terjang ribuan meteorit.
Meski hanya mimpi, sisa-sisa dari perasaan sesa itu masih ada. Bahkan ketika ia kembali ke dunia nyata, rasa bersalah yang menyerangnya saat ia bermimpi, masih begitu lekat. Rasa bersalah karena tidak bisa melakukan apapun saat teman-temannya berteriak memanggilnya, memohon pertolongannya.
Luna ketakutan, gemetar dengan hanya mengingat kilasan. Terlalu nyata baginya, seperti solah dirinya berdiri dan menyaksikan kehancuran itu.
Orang bilang, mimpi adalah bunga tidur, tapi sebagian percaya, bahwa mimpi merupkan bagian dari pengingat, sebuah firasat akan suatu hal. Luna tidak percaya, tapi mimpinya terasa begitu nyata. Presensi teman-teman, semua orang yang dikenalnya begitu nyata dalam pemglihatan bunga tidur tersebut. Dan perasaan kalut yang dia rasakan sekarang, seperti menariknya pada sebuah pemikiran paling buruk.
Langit di luar sana masih gelap gulita. Seolah mendukung pemikiran kalut yang tengah melanda otak Luna saat ini. Bahkan bulan ditutupi oleh awan. Tanpa penerang apa pun, pandangan Luna menjadi buram, sulit untuk menyadari bahwa ada seseorang yang tengah memperhatikannya secara diam-diam.
Menyaksihkan ia bermimpi sampai dirinya ditarik oleh kesadaran dan bangun dalam keadaan sesak.
Pemuda itu berdiri di luar pintu kamar, mengintip melalui cela pintu yang terbuka separuh. Zean Valture menatap Luna Fletcher yang resah di atas tempat tidurnya. Saat gadis tersebut beranjak, Zean bergegas kembali ke ruang tengah. Mendudukan diri di sofa, lantas bersikap seolah tetap duduk di sana berjam-jam yang lalu tanpa pernah beranjak.
Sementara itu, Luna keluar dari kamarnya, berjalan menuju ruang tengah untuk menemukan Zean duduk di sana.
"Kau belum tidur?" Tanya Luna. Ia mengambil tempat duduk di samping Zean.
"Sulit untuk tidur sekarang. Ada terlalu banyak pikiran yang mengangguku," jawab Zean.
Luna mengangguk singkat, lantas kembali diam. Ia menunduk, memandangi kakinya sendiri yang digerak-gerakan. Sampai kemudian, pandangannya teralihkan oleh suara Zean.
"Kau bagaimana? Tidak bisa tidur juga?"
Luna berdeham, mengangguk pelan. Suasana canggung yang tercipta di antara mereka membuat Luna risih, situasi diam ini di sebabkan karena apa yang mereka lakukan beberapa jam yang lalu. Luna tidak pernah mengira bahwa Zean akan melakukan itu, dan juga lebih tidak mengerti kenapa Luna justru membalasnya.
Tapi, keresahan dan ketakutannya saat ini lebih membutuhkan pencerahan. Luna kalut, sibuk menerka-nerka tentang arti dari mimpi buruknya.
"Zean." Luna memanggil lirih.
"Hem?"
Mengulum bibir sejenak, Luna meyakinkan dirinya sekali lagi sebelum buka suara lagi "apa yang telah terjadi, sebulan kebelakang ini? Di kota dan juga di Alter?"
"Aku menunggu, kapan kira-kira kau akan menanyakan hal itu..." Zean mengambil atensi Luna "karena, kau tampak enggan untuk membahas apa yang telah terjadi sebelumnya."
"Itu karena, aku telah kehilangan." Luna menahan getir, hatinya kembali sesak "aku tidak tau bahwa imbalan dari kekuatan yang mereka bilang luar bisa ini adalah dengan mengorbankan orang tersayangku."
"Tidak ada yang bisa memprediksi masa depan..."
"Tetap saja. Rasanya seolah bayaran atas pengetahuan tentang jati diriku, adalah nyawa..." Luna menelan saliva susah payah, tidak sanggup meneruskan kata-katanya.
"Lalu, apa yang ingin kamu lakukan setelah mengetahui semua itu?" Tanya Zean.
Luna menoleh, menatap mata segelap malam yang balik memandangnya. Zean menanti jawaban, tapi Luna sulit menjawabnya. Lidahnya seolah keluh, bimbang untuk mengutarakan apa yang sebenarnya ia inginkan.
"Bisakah kau mengatakan apa yang telah terjadi? Situasi semacam apa yang sedang mereka hadapi sekarang? Aku bingung, juga tidak mengerti kenapa kau jauh-jauh datang ke London hanya untuk menemuiku, apalagi dengan kondisi terluka."
"Aku tidak bisa memberikan penjabaran dengan jelas. Kau harus melihatnya sendiri."
"Apa?" Alis Luna berkerut. Keresahannya makin bertambah "apa yang terjad?"
"Kau tau sendiri, Blackton bukan lagi satu-satunya ancaman. Setelah Morana bebas, akan ada lebih banyak kehancuran yang terjadi." Zean membiarkan kata-katanya mengabang, dilihatnya wajah gelisah Luna. Kekhawatiran tergambar jelas di wajah gadis tersebut.
"Jadi maksudmu adalah..." pikiran-pikiran buruk meledak dalam otaknya, menguasai sebagian besar ruang dalam kepalanya. Luna tidak bisa perpikir positif sekarang.
"Kau harus kembali Luna, mereka menunggumu."
Apa yang bisa Luna lakukan sekarang? Ia terlalu takut. Pada situasi yang akan ia hadapi, pada Lysandra Blackton, pada Morana, bahkan pada dirinya sendiri.
"Tapi aku...kekuatanku..." Luna menatap telapak tangannya sendiri, memandang begitu rendah dan putus asa.
Zean mengerti dan paham akan situasinya, Luna masih belum sempurna dalam menguasai kekuatannya. Gadis itu takut, bahwa apa pun yang ada dalam dirinya, bisa kapan saja muncul, bukan hanya melukai musuh, tapi juga orang-orang terdekat gadis itu.
Diraihnya tangan gadis itu, lantas ia genggam erat.
Pandangan Luna beralih pada Zean, terpaku pada pemuda yang memandangnya penuh peyakinan.
"Kau harus percaya pada dirimu sendiri. Karena pada akhirnya, kau adalah pemegang kontrol penuh atas dirimu sendiri. Jangan mau kalah, Luna."
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ruin Roses ✓
Fantasi[ The Elemental Trilogy | Book 2] Peristiwa terahkir memberikan pukulan besar bagi mereka, terutama untuk Luna yang kehilangan satu-satunya keluarga. Kepergian Hanna Fletcher menjadi titik balik dari keenganan Luna untuk kembali melibatkan diri dala...