"pake helmnya," Brian menyodorkan helm pada Runa.
"iya,"
"pulang?"
"ng-itu ke rumah sakit Cempaka kak," Brian menyerngitkan dahi, namun tidak ingin terkesan ikut campur ia hanya mengangguk.
"udah? pegangan," Runa menjadi grogi, ia bingung apa yang harus di pegang.
"pegang jaket aja," Runa mengangguk.
Selama perjalanan mereka saling diam, Runa yang tidak tahu harus ngapain dan Brian yang tenggelam dalam pikirannya sendiri memikirkan kenapa Runa ke rumah sakit.
"sampe depan aja kak," ujar Runa mencegah Brian agar tidak berhenti di parkiran RS. Brian menurut dan memberhentikan motornya tepat di pinggir jalan depan RS. Di pagar RS ada seorang pria tengah berdiri menatap dingin ke arah mereka.
"Runa," ucap pria itu. Kepala Brian semakin dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan.
"Kak! makasih ya udah baik banget mau nganter, udah mulai mendung kayanya mending kakak cepet balik. sekali lagi makasih ya kak." ujar Runa dengan senyuman manis namun dari nadanya terdengar sedikit gemetar. Brian memperhatikan Runa dan pria di pagar sana sesaat. Siapa ni cowok?
"iya," jawab Brian mengangguk dan tersenyum. Kembali memakai helmnya Brian berlalu dari sana.
...
Brian tidak langsung pulang begitu saja, firasatnya mengatakan untuk menunggu Runa maka dari itu ia memutuskan ke cafe di samping RS. Entah kenapa dengan dirinya sendiri, Brian juga merasa heran, apakah jiwa kepo dalam dirinya sudah tidak normal. Brian sedikit merasa khawatir dengan Runa selain karena tadi ia melihat perempuan itu menangis, pria tadi juga menambah kekhawatiran Brian. Siapapun pria itu, Brian yakin dia adalah salah satu alasan Runa bersedih.
Sambil menunggu, tiba-tiba Ken mengirim pesan. Seketika, Brian merasa emosi membaca pesan dari Ken. 'Bri , sorry gue seminggu depan gak bisa ikut latihan.' Tanpa pikir panjang, Brian langsung menelpon Ken. Bukan tanpa alasan Brian kesal karena pasalnya akhir bulan ini mereka akan mengikuti lomba.
"maksud lu apa?"
"sorry Bri, ada hal mendadak yang harus gue urus."
"apa? lebih penting dari sekedar latihan?"
"latihan penting, tapi ini bener-bener nyita waktu gue."
"lu harus bisa profesional Ken. bukan gak punya waktu tapi prioritas lu emang bukan basket."
"nggak gitu Bri. aarggh!" di seberang sana Ken tampak frustasi.
"kasih gue alasan yang jelas, yang bisa diterima."
"Killa lagi di masa downnya Bri, dia gak punya siapa-siapa buat sekedar dengerin keluh kesahnya. nyokapnya kena masalah lagi, sampe depresi. setelah ortunya cerai masalah keluarganya selalu ada aja, Killa gak sanggup kalo harus nanggung sendiri. gue mau ada buat dia 24/7."
"apa ada hubungannya sama Runa?" tanya Brian hati-hati.
"hah?! nggak." sangat ketara kalau Ken berbohong.
"itu emang bukan hak gue buat tau, tapi akhir-akhir ini gue sadar kalo Killa sama Runa ada sesuatu."
"sebenernya orang tua Killa pisah karena rumor bokap Killa sama nyokap Runa ada main belakang. keluarga Killa hancur, bokapnya lebih milih pisah kalo keluarga Runa belum tau katanya gak pisah tapi keluarga gue tau kalo orang tua Runa juga udah ga tinggal serumah. baik Killa dan Runa gak salah apa-apa mereka cuma korban dari kekacauan orang tua mereka." Brian terdiam mendengarnya, jadi selama ini masalah yang dihadapin Runa seberat itu.
"gue juga sadar ini bukan ranah gue buat ikut campur apalagi sampe cerita kaya gini ke lu, tapi gue percaya lu juga gak akan cerita ke siapa-siapa. gue cuma mau lu tau posisi gue sekarang, gue sayang Killa gue gak mau jadi cowok brengsek yang ninggalin dia gitu aja di masa downnya."
"oke gue paham, jaga diri lu juga." sambungan terputus.
Di sisi lain....
Runa sudah melihat mamanya yang terbaring di ruang VIP. Runa hanya menyapa dan berdoa dalam hati untuk kesembuhan sang mama. Setelahnya, Alvaro, sang kakak mengajaknya untuk berbicara empat mata. Mereka turun menuju coffee shop terdekat.
Baru saja mereka duduk, Alvaro sudah siap dengan semua unek-uneknya.
"lu tuh ngapain aja sih? gak bisa diem-diem aja di rumah jagain mama? lu tuh enak masih sekolah belum ada kesibukan apa-apa. tinggal temenin mama aja gak bisa ?" Runa terdiam.
"mama tuh butuh support, butuh ditemenin, butuh temen cerita, butuh orang yang mau ngertiin dia. lu sebagai perempuan juga harusnya bisa ngelakuin itu semua. minimal tau dirilah gimana cara balas budi ke orang tua, lu harusnya sadar bisa hidup enak sampe detik ini karena hasil jerih payah mereka." Runa masih terdiam namun kini hatinya sudah memanas.
Sejak tadi Runa menunduk menatap minuman di depannya, kini ia tersenyum miring. Fakta kakaknya tidak mengetahui semua yang ia lalui setahun terakhir membuatnya seakan ingin menertawakan dirinya sendiri.
"coba sekarang aku tanya balik ke abang, kenapa abang lebih milih pergi dari rumah? kenapa gak abang yang coba ngertiin mama? kenapa gak abang yang coba bales budi orang tua? kenapa gak abang yang sadar kalo bukan aku satu-satunya orang yang harus bertanggung jawab atas kekacauan keluarga kita."
"asal abang tau, mama sendiri yang udah gak nganggep aku ada di rumah, mama sendiri yang bikin rumah bukan layaknya rumah. mama papa lupa masih ada aku yang butuh perhatian, mereka lupa kalo ngebiayain sekolah sampai lulus dan ngasih aku apartemen bukan penyelesaian masalah. aku butuh makan dan keperluan lain setiap harinya, apa abang tau papa udah empat bulan lebih gak kirim uang, aku mati-matian cari uang sendiri demi kebutuhan aku." air mata Runa sudah siap turun, suaranya bergetar.
"aku kerja apapun demi punya uang sendiri, demi bisa makan setiap hari. aku gak peduli badan aku sakit, luka atau bahkan mati rasa. hidup aku nggak seindah yang abang pikirin. aku sendirian, ngelaluin semuanya." Runa langsung beranjak dari duduknya, ia tidak sanggup lagi. Runa keluar dan berlari di trotoar menjauh dari hadapan kakaknya.
Bersamaan dengan sambungan telepon yang terputus, Brian menyadari bahwa yang tengah berlari melewati cafe tempat ia berada adalah Runa. Segera Brian mengejarnya, tanpa pikir panjang Brian menarik tangan Runa dan memeluknya. Runa semakin menangis di dalam dekapan Brian.
≈≈≈
Alvaro
KAMU SEDANG MEMBACA
Eccedentesiast | Jay Enhypen
Fanfiction𝙀𝙣𝙝𝙮𝙥𝙚𝙣 & 𝙒𝙚𝙚𝙚𝙠𝙡𝙮 𝙎𝙚𝙧𝙞𝙚𝙨 | 𝙅𝙖𝙮 𝙛𝙩 𝙅𝙖𝙚𝙝𝙚𝙚 "maaf yaa.." ujar Runa. "maaf kenapa?" dahi Brian menyerngit. "maaf waktu acara di rumah aku pada ngeledekin, pasti ga nyaman banget kan." "kata siapa?" "eh, nggak kata siap...