6 | Don't Pass In This Street!

665 55 0
                                    

"Papa!" Aiko melompat ke pelukan ayahnya, kedua kaki mungilnya melingkar erat ke tubuh.

"Aishiteru ..." bisik ayah Aiko dengan lembut.

Aiko tak menjawab, ia semakin mengeratkan pelukannya dan merebahkan kepalanya di bahu cinta pertamanya.

"Aiko kangen ... banget! Banget! Banget!" serunya sedikit gemetar, air mata seakan mendobrak untuk dikeluarkan.

"Papa juga ..."

"Udah gede tapi kelakuan kayak anak TK, bukan anakku ..." seru Dina yang tengah menuruni anak tangga dengan perlahan, takut kelincinya terlepas.

Aiko menoleh, memandang ibunya dengan mata berkaca-kaca. "Aku anak Papa!"

Dina mendekat dengan gaya berlebihan. "Astaga ..." Dia memandang suaminya terkejut. "Kamu bisa hamil juga, Pa!"

Danu, suami Dina dan tentu juga ayah dari Aiko memandang Dina datar.

"Nggak lucu, ya?" tanya Dina dengan mata berkedip lucu.

Danu menurunkan Aiko, kedua tangan besarnya menangkup wajah putri tercintanya. Putri yang ternyata sudah besar, waktu terasa berjalan lebih cepat.

"Cengeng ..." ujarnya lembut kala melihat setetes air mata menuruni pipi Aiko.

"Kenapa sih, Papa jarang banget pulang?"

"Papa kerja, sayang. Maaf, ya?"

Aiko kini menangis deras, ia tak bisa untuk tidak memaafkan cinta pertamanya. Ayahnya bekerja keras untuk hidup mereka, tapi jarang pulang. Waktu pulang pun tak berjadwal. Terakhir ayahnya pulang bulan lalu, menghabiskan waktu di rumah beberap hari lalu kembali bekerja.

"Udah ... ayo sarapan!" Dina berjalan menuju ruang makan yang berdampingan dengan dapur, ia masih menggendong kelinci gendut, diikuti Danu dan Aiko di belakangnya.

Mereka sarapan dengan suasana yang hangat, celotehan kecil terdengar begitu bahagia. Tak peduli bahwa kelinci gendut tengah melompat seperti mencari jalan keluar.

Setelah sarapan mereka duduk beralaskan tikar di halaman belakang. Dina memangku kelinci gendutnya, Danu duduk di atas rumput membuat kandang kelinci, sedangkan Aiko merengut memandang Dina.

"Nggak mau, kenapa nggak makan rumput di sini aja? Lagian udah ada wortel buat makan itu kelinci." Dina menyuruh Aiko mencari bibit rumput Alfalfa untuk kelinci gendutnya.

Setelah Aiko menjelajahi Google, dikatakan di sana bahwa rumput ini dikenal sebagai pakan kelinci yang terbaik karena dalam rumput Alfalfa ini terdapat kandungan protein hingga 18%. Banyak yang mengatakan bahwa rumput ini mampu meningkatkan produksi air susu untuk induk kelinci.

"Sana ke pasar! Cuma beli wortel sama bibit doang, kok."

"Beli di toko online aja, Ma ..., nanti aku beli wortel di warung depan," bujuk Aiko.

Dina menggeleng, tangannya mengelus lembut kelinci yang terlihat keenakan di pangkuannya. Aiko merasa sedikit cemburu ... astaga.

"Sekalian beli Bakso kesukaan Papa," kini Danu berujar. Dina terlihat kegirangan, karena tau Aiko yang tak mampu menolak Papanya.

"Lewat terminal aja ya, sayang," pesan Danu yang diangguki Dina.

"Jangan lewat hutan Bukan Perawan itu, kemarin ada remaja hilang di dekat sana."

"Tapi kan dekat, Ma ... Lagian di sana ada rumah-rumah orang. Mama dan Papa nggak usah takut kalau aku bakal ikutan hilang, oke?"

Aiko mendapat tatapan serius dari Danu dan Dina. Artinya Aiko harus menuruti apa yang mereka katakan.

Aiko memutuskan ke pasar menggunakan sepeda. Saat tiba di jalan besar ia melirik kanan, jalan cepat menuju pasar. Melewati hutan dan beberapa rumah sebelum belok ke kiri menuju ke arah pasar.

Aiko mendesah, ia mengayuh sepedanya ke arah kiri melewati beberapa gedung tinggi dan ramai kotanya. Panas menjelang siang hari ini menerpanya, beruntung ia memakai helm berwarna merah muda untuk melindunginya.

Sampailah di pasar. Setelah membeli satu keresek berisi 1 kg wortel yang sudah ia letakan di keranjang sepeda dan gagal membeli benih rumput Alfalfa karena tokonya tutup, ia memutuskan mampir ke warung bakso kesukaan ayahnya. Membeli semangkuk untuk ia makan di tempat sekalian membeli untuk ayahnya, dibungkus maksudnya.

"Pak, bawang gorengnya dibanyakin boleh?" mohon Aiko pada Pak Yusuf si penjual bakso. Pria paruh baya yang menjalankan usaha bakso ditemani istrinya.

"Bolehlah ... buat Neng Ai gituloh. Boleh juga nambah 2 biji bakso, tapi jangan yang ukuran jumbo." Aiko, Pak Yusuf dan istrinya yang tengah mengelap mangkuk tertawa bahagia. Beberapa pembeli menahan tawa, ada juga yang tak peduli dan fokus menikmati baksonya.

"Ini baksonya, Mbak ayu ..." Istri Pak Yusuf yang berdarah Jawa menyerahkan semangkuk bakso ditaburi banyak bawang goreng.

"Matur nuwun, Bu." Aiko berterima kasih dengan bahasa Jawa.

Segera ia mengambil botol saus dan kecap, menekannya hingga keluar banyak sekali kecap dan sedikit saus. Menganduknya hingga merata. Aiko menyendok kuah yang terlihat menggiurkan itu lalu menyeruputnya.

"Enak banget!"

Sembari menikmati hidangannya, ia melirik ke samping mendapati dua pria masuk ke dalam, berbicara dengan Pak Yusuf.

"Dua mangkuk, Pak. Satunya tanpa mie ..." ujar salah satu pria yang memakai topi hitam, mengenakan kaus putih dengan celana jeans sobek-sobek. Sedangkan pria satunya yang mengenakan hoodie coklat melangkah mendekati tempat duduk di belakang Aiko.

Aiko kembali menikmati baksonya. Ia harus menghabiskannya selagi masih hangat karena rasanya lebih mantap.

Setelah makan dan membayar pesanannya, Aiko melirik dua pria yang bisa dibilang ganteng itu tengah makan dalam diam.

"Terima kasih, Pak! Kapan-kapan dikasih tambahan bakso lagi, ya Pak? Satu jumbo boleh, lah ..." canda Aiko yang membuat Pak Yusuf dan Istrinya tertawa.

Aiko melambaikan tangan pada sepasang suami istri itu, lalu mengendarai sepedanya. Aiko memutuskan mengedarai sepedanya ke kanan, jalan yang cepat menuju rumahnya. Jalan yang Danu dan Dina larang untuk Aiko lewati menuju pasar. Tapi sekarang ia menuju rumah dengan melewati jalan itu, Aiko tak salah kan?

Aiko berkendara sembari bersenandung bahagia, tak apalah ... lagipula jalanan ini sepi.

Aiko melewati beberapa rumah yang terlihat sepi. Ia memasang senyum pada wanita tua yang tengah menyapu halaman sebuah rumah.

Aiko menghentikan sepedanya. "Bi Fatimah kerja di sini?" Setahu Aiko, Bi Fatimah bekerja sebagai asisten rumah tangga. Aiko menyipitkan matanya melihat sepasang mata mengintip dari balik gorden jendela rumah tempat Bi Fatimah bekerja saat ini.

"Iya, Neng. Neng Ai teh dari mana? Dari pasar?" Aiko mengalihkan pandangan lalu mengangguk.

Raut Bi Fatimah terlihat khawatir. "Si Neng kenapa lewat sini? Lewat jalan biasa aja atuh, jangan lewat jalan ini!"

"Lah, kenapa, Bi? Oh! Karena gadis yang hilang di sekitar sini waktu itu? Tenang aja Bi, seorang Aiko nggak bakal kenapa-kenapa."

Bi Fatimah terlihat makin khawatir, ia menepuk tangan Aiko yang memegang stang. "Cepat pulang atuh, Neng. Sana pulang!"

Aiko mengangguk kaku. "Ya-ya udah, aku pulang ya, Bi."

Aiko mengendarai sepedanya dengan santai. Lalu menghentikannya cepat kala matanya menangkap rumput Alfalfa tumbuh subur di halaman rumah seseorang. Pria paruh baya berpakaian santai keluar dari rumah kayu itu, rumah yang terlihat biasa saja namun pemiliknya memiliki banyak uang dari peternakan sapi yang ia miliki. Itu yang orang sekitar dan Aiko ketahui.

"Pak Toni!"

Pria itu mengangkat wajahnya, sedetik terlihat ia terkejut lalu menormalkan kembali rautnya.


•○●Bersambung●○•

Lucid Dream: Silent Area Mysteries (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang