Aiko memundurkan langkahnya kala pintu di depannya terbuka. Sosok Dina menutup mulutnya, matanya membelalak melihat keadaan Aiko yang kacau.
"PAPA!"
Tak lama datang Danu dengan raut penasaran. Ternyata putri tercintanya berdarah. Astaga.
"Kamu kenapa bisa begini?!" seru Danu, ia mengulurkan kedua tangannya, memegang bahu putrinya.
Melihat seseorang yang tengah meletakkan sepeda di halaman rumah, Danu dan Dina menatapnya tajam.
Dina merengsek maju, menarik kerah kemeja yang orang itu pakai. "Kamu apakan anak saya?!" Lalu menoleh ke belakang, menatap suaminya penuh tekad. "Pa, jangan diam aja dong!"
Danu sedikit tersentak, berpandangan dengan pria yang kerahnya ditarik Dina. "Ma ... kamu obati luka-luka Ai, biar Papa yang urus pria ini." Danu meregangkan jari-jari tangannya, lalu membentuk kepalan.
"Aduh, Papa jangan apa-apain dia! Dia nggak salah kok, ini sepenuhnya salahku karena ..."
"Udah masuk dulu, sekalian ceritain semuanya." Dina menarik Aiko, sedangkan Danu memberi kode pria yang katanya tak bersalah untuk masuk ke dalam rumahnya.
Di ruang keluarga.
Aiko terduduk di sofa empuk, ditatap penuh perhatian oleh Dina yang duduk di lantai beralaskan karpet. Mata ibunya itu bagai laser. Dina memelototi Aiko, melihat darah di dahinya. Lalu tatapannya turun ke lengan kanan dan lutut kaki kanan Aiko yang lecet dan terdapat sisa aspal halus.
Tangannya terangkat menunjuk Aiko. "Ka-kamu ... astaga! Mama nggak suka ya kamu terluka begini," seru Dina, matanya berkaca-kaca.
Dina memangku kotak P3K, lalu teringat kalau luka itu harus dicuci dengan air terlebih dahulu. "Ayo, cuci dulu lukanya ..."
Aiko melebarkan matanya. "Nggak mau!"
Tak peduli penolakan Aiko, Dina menariknya paksa. "Ayo, anak manisku ..."
"Nanti perih, Ma ..." rengeknya.
"Nggak, sayang ..."
"Nggak mau ..." Aiko menggeleng keras.
Tubuh Aiko sedikit tertarik, namun dengan kuat ia menahan agar ia tak tertarik. Aiko melawan dengan lengannya yang tak terluka, saking kuatnya, Dina sampai tersungkur ke arahnya, menyenggol luka di lututnya membuat Aiko menjerit kesakitan lalu menangis keras. Dina ikut menjerit, seakan ikut merasakan bagaimana nyeri luka itu.
Danu yang berada di ruang tamu bersama pria itu terkejut mendengar teriakan dan tangisan dari ruang keluarga.
"Abaikan ..." Danu harus fokus kepada pria yang duduk di hadapannya ini. "Jadi, kamu menolong Aiko yang jatuh di tanjakan sana." Pria itu mengangguk.
Danu menyipitkan matanya. "Kamu yakin Aiko terjatuh bukan karena kamu yang menyelakainya atau orang lain?"
"Beneran, Om, saya ada di belakangnya waktu dia jatuh. Dia jatuh sendiri, saya nggak apa-apain dia," ujarnya dengan penuh keyakinan. "Lagipula, buat apa sih saya celakain dia?"
"Beneran perih kan, Ma..." kini teriakan dan tangisan terdengar dari kamar mandi yang letaknya dekat dengan ruang tamu. Kamar mandi seakan sebagai pemisah atau penengah antara dapur beserta ruang makan dengan ruang tamu.
Danu mengusap wajahnya kasar, menarik lalu menghembuskan napasnya. "Oke, saya percaya kalau kamu nggak bersalah. Kamu kan ya begitulah, jadi nggak mungkin celakain anak saya."
"Ma, bawa Aiko ke ruang tamu! Biar Papa aja yang obatin," seru Danu yang mendapat balasan langsung dari Dina. "Iya, Pa!"
"Mama! Airnya jangan diderasin, perih banget, Ma!" Teriakan dan tangisan Aiko lagi-lagi terdengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lucid Dream: Silent Area Mysteries (COMPLETED)
Misterio / Suspenso⚠️ 18+ ya, karena ada sesuatu di dalamnya. Tentang kejadian di Silent Area, area sunyi yang dikelilingi hutan lebat. Hilangnya gadis-gadis secara misterius yang terjadi berkali-kali. Pelaku yang meninggalkan barang milik korban, seakan meledek pihak...