Baby

85 3 3
                                    


--&--

Emeraldnya terbuka secara perlahan, sinar yang masuk ke kornea nya mulai disesuaikan. Aroma yang menusuk di hidungnya membuat sang empu dapat menebak dimana dirinya berada sekarang, bau khas obat-obatan, rumah sakit. Matanya mengerjap beberapa kali guna menyesuaikan cahayanya, lalu bergulir kesana-kemari.

Tubuhnya berniat untuk mengubah posisinya menjadi duduk, namun diurungkan ketika merasa ada beban yang menimpa badannya. Hingga emeraldnya terbelalak kaget melihat sosok yang menjadi beban tubuhnya, kini tengah tertidur pulas di perut dan pahanya yang membuat perutnya entah mengapa sedikit kram.

Erangannya yang keluar tentu berhasil membangunkan sosok itu yang mulai melenguh dan membuka matanya secara perlahan, mata seindah laut itu bergulir menatap dirinya dan segera beranjak dengan rasa panik. "Maaf, maaf."

"Ini sakit sialan..." Lirih Rena

Pemilik mata safir itu segera mengelus perut rata Rena sembari menggumamkan kata Maaf dengan nada begitu lembut, membuat Rena mengerut bingung bersamaan dengan leganya kram perut yang dialami. Hanya sekadar elusan tapi mampu membuat kram perut yang dirasakan menghilang begitu saja, ia semakin dilanda kebingungan.

"Kenapa kram perutku langsung hilang setelah kau elus seperti itu, Eiji?" Akhirnya apa yang ditanyakan keluar dari mulutnya.

Namun bukannya jawaban, Eiji malah tersenyum penuh arti. Tak terlalu lebar namun cukup membuat Rena semakin kebingungan akan sikap suaminya itu, mau beberapa kali pun ia berpikir keras tetap saja tak akan membuahkan hasil. Ia menyerah, lebih baik ia menunggu Eiji membuka suaranya saja dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi hingga pria itu bersikap begitu lembut padanya. Terutama pada perutnya.

Begitu selesai dari kegiatan mengelusnya, Eiji menatap Rena dengan pandangan datar. Namun Rena tahu pandangan datar itu bukanlah pandangan yang benar-benar datar, jika kembali ditelisik. Ada raut wajah bahagia terpancar. "Jadi, bisa jelaskan padaku?"

"Mulai detik ini, jangan pernah memikirkan hal yang membuat beban di kepala coklatmu. Aku tak ingin sesuatu terjadi pada anakku yang ada dalam perutmu." Bukannya menjawab, Eiji justru memberi peringatan yang membuat Rena tersentak sekaligus terkejut dengan pernyataan diakhir kalimat pria itu. Matanya berkaca-kaca, ia menatap perutnya dengan tatapan terharu.

"A-Aku.... H-Hamil?"

"Hn...."

Lelehan air mata perlahan keluar tanpa bisa dicegah, rasa bahagia begitu membuncah di dada nya. Ia juga ikut mengelus perut rata dengan kasih sayang, sembari tersenyum. Eiji langsung merengkuh tubuh mungil yang kini tengah berbadan dua, mengelusnya seraya menghirup aroma yang menjadi candunya. "Terimakasih, Rena."

Tangannya mencengkram erat baju lusuh Eiji, mengutarakan apa yang ia rasakan. "U-uhm..."

Pelukan itu terjadi selama 10 menit lamanya, Rena dengan cepat melepas diri dari pelukan itu lalu menatap marah pada Eiji. "Ganti bajumu dulu dan obati lukamu!" Ia tentu saja sadar ada noda darah di baju tuxedo suaminya itu, entah apa yang sudah diperbuat hingga darah itu melekat pada tuxedo Eiji.

"Hn..."

Sebenarnya ada alasan tertentu mengapa Rena mengusir Eiji, bau darah itu masih segar dan sangat menyengat. Biasanya ia menyukai aroma darah, tapi jangan berpikir bahwa ia psikopat. Katakanlah ia aneh dalam selera aroma, dan darah adalah salah satu aroma yang ia sukai.

Tapi sekarang entah mengapa menghirupnya saja sudah membuatnya mual tak karuan, terlalu menyengat di hidung hingga membuat kepalanya pusing.

Sesuai permintaan Rena, kini Eiji sudah kembali dalam keadaan bajunya yang sudah diganti juga dadanya yang sedikit terekspos bagian atasnya yang terbalut perban. Setelah beberapa saat menggantinya, Renji datang ke tempatnya dan memberikan baju yang sebelumnya ia pinta.

SATU [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang