End?

64 3 1
                                    

"EIJI!!!"

Teriakannya tak berguna, seperti teredam oleh suara pedang yang menusuk daging lunak. Didepan matanya.... Satoru menusuk perut Eiji dengan senyum kemenangannya. Jantungnya seolah berhenti berdetak kencang, tak ada siapapun yang tidak terkejut dengan adegan tersebut. Panglima favorit mereka, tiada didepan mata mereka yang mana semakin membuat panas area pertempuran.

Lain halnya dengan Rena, Akashi, dan sahabatnya yang termangu menatap Eiji yang sudah terkapar.

Logikanya menghilang, kewarasannya menguap begitu saja. Hanya Eiji sekarang yang jadi fokus utamanya, "Aku harus kesana...."

"Tidak Rena!"

"Jangan halangi aku Mamoru!" Kaki nya dengan cepat berlari mendekati Eiji, tak peduli jika kerikil atau benda tajam kecil akan menancap di kakinya.

Tapi disaat yang sama, Satoru mendekatinya dengan kecepatan sekilat cahayanya. Tersenyum miring, "Kau milikku sekarang." Dengan kecepatannya, pisau kecil tersebut berhasil menancap di sisi tubuh Rena.

Tubuhnya membeku, rasa sakit mulai dirasakan disekujur tubuhnya. Terutama perut, kini kram perut nya mulai dirasakan hebat. Tapi Rena mencoba mengabaikan rasa sakit nya dan tetap melangkah mendekati Eiji yang terbaring lemah, tangannya mencoba menggapai tubuh yang mulai ringkih itu dengan sekuat tenaga nya.

Sampai kakinya tiba-tiba melayang, lalu tubuhnya menabrak dada bidang. Emeraldnya menatap pria yang tengah membawanya dengan bridal style, bahkan tersenyum sendu padanya. "Maaf, aku terlambat datang."

"Akashi...."

"Bertahanlah, aku akan mengantarmu pada Eiji."

Satoru yang hendak mencegat Akashi justru dihadang oleh dua perempuan, Naki dan Nagisa secara bersamaan. Dua perempuan dihadapannya ini seolah menjadi tameng untuk Rena, dan ini membuatnya kesal.

Begitu tiba di tempat Rena langsung melepas rangkulannya dan segera berlari menuju Eiji, membawa tubuh besar itu ke pangkuannya. Sembari menggoyangkan tubuh Eiji. "Eiji! Kumohon buka matamu."

Sesuai yang diinginkan, Eiji membuka matanya. Tersenyum menahan rasa sakit yang amat dalam akibat tusukan yang didapat, walau itu juga percuma karena Rena pasti mengetahuinya. Tangannya terangkat mengelus pipi Rena, fokusnya teralihkan melihat ada luka tusukan di bahu Rena. Dan sang empu yang tahu langsung segera memeluk kepala Eiji. "Luka ini tidak sebesar dirimu, jangan khawatir."

Bohong

Lagi-lagi ia mengatakan kebohongan, kenyataannya kram di perutnya masih tak hilang juga dan makin menjadi-jadi. Ia bahkan bisa merasakan sesuatu mengalir dari daerah intimnya, walau hanya menduga tapi ia merasa ada hal buruk yang menimpa. Tapi ia tak peduli dulu untuk itu, Eiji sekarang prioritasnya.

"Jangan menangis....." Suara Eiji begitu serak dan putus putus, Rena mencoba menahan air matanya tapi tak bisa.

"Kita.... Impas kan?"

"Apanya yang impas?! Saat itu aku masih hidup sementara kau sekarang sekarat!"

Eiji hanya tersenyum menanggapi Rena, yang dikatakan benar. Keadaannya berbeda, tapi ia tak menyesal. Sama sekali tidak, setidaknya ia berhasil melindungi Rena.

"Jangan tinggalkan aku......." Isaknya.

Bibirnya hendak mengucap, tapi kesadarannya sudah di ambang batas. Tanpa sadar sudah menutup matanya, meski ia masih berharap pada Tuhan agar tetap hidup.

"Eiji...? Eiji!! Jawab aku!!"

Tak ada jawaban, hanya hembusan nafas yang terputus-putus membuat Rena semakin panik bukan main. "EIJI JANGAN TINGGALKAN AKU!!!" Dengan nada tingginya, kewarasannya sudah menghilang begitu saja melihat Eiji kini menutup mata indahnya.

SATU [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang