Lembar Buku yang terakhir

69 4 3
                                    

Hai haiii karena bentar lagi mau selesai untuk cerita yang ini, aku bakal rombak semua isinya. Dan aku bakal lanjutin cerita sebelah, yang lagi aku rombak juga.

Jangan lupa vote and comment❤️❤️

Aku tahu kok banyak yg liat ni story', tapi ga ada yang vote kecuali satu orang. Miris banget ya? Cerita ini masuk peringkat 66 fiksi, tapi votenya ga ada sebanyak yang baca.

--Sehari sebelum Rena sadar--

Ryota dan Akashi kini berdiri memandang bangunan pencakar langit, dengan senja sore menghiasinya. Keduanya menghembuskan nafas nya perlahan, lalu saling menatap.

"Kau yakin?"

"Ya, lagipula aku sudah tidak punya tujuan apapun didunia ini, Akashi."

"Aku juga.... Biar aku saja yang mendonorkan keduanya, kau masih punya jalan yang panjang."

Ryota mendengus, "Bagaimana caramu mendonorkan darah dan jantung disaat bersamaan, Nii-san?"

Benar, mendonorkan dua hal disaat bersamaan adalah hal yang sulit. Jika jantung lebih dulu maka darah berhenti berfungsi, jika darah dan jantung, sama saja. Apalagi jika darah lebih dulu.

Melihat akashi yang tengah berpikir keras, dengusannya kembali keluar. "Percuma saja dipikir keras, Nii-san. Mendonorkan dua hal membutuhkan dua orang juga."

"Tapi---"

"Ini sudah keputusanku, Nii-san." Tangannya mengambil kertas amplop dari kantung nya, menyerahkannya pada Akashi. "Berikan ini pada Eiji dan Rena saat mereka berdua sadar."

Akashi menatap sendu punggung itu, juga surat yang kini ia pegang. Matanya berair, bahunya mulai bergetar dan kakinya mulai lemas hingga jatuh terduduk.

--&--

Aku terduduk di kursi yang sudah disediakan, di bankar ada suamiku tengah tertidur pulas. Banyak alat yang menempel ditubuhnya, membuatku sesak secara bersamaan. Aku rindu tapi juga takut, takut jika aku memberikan kabar ini akan membuat kondisinya begitu buruk.

Sudah sebulan, namun belum ada tanda-tanda akan bangun. Apakah mimpimu sebegitu indahnya sampai tidak mau bertemu denganku?

Akhir-akhir ini aku tak pernah melihat Ryota, jika aku menanyakan keberadaan nya pada Ryusuke atau Akashi, Ekspresi mereka langsung berubah sendu dan kemudian tersenyum. Membuatku bertanya-tanya.

Aku rindu Ryota, disaat seperti ini pria itu akan datang dan melontarkan candaan padaku. Dengan hal sederhana itu saja bisa membuatku tenang, tapi sekarang rasa gundah ku semakin menjadi-jadi.

"Kau dimana.... Ryota?"

Aku tersentak merasakan elusan lembut membelai kepala ku, mendongak dan terkejut melihat mata safir itu terbuka dan bibir itu tersenyum hangat. Meski terhalang Selang pernapasan, ia tahu Eiji tersenyum simpul. "Eiji..... Dokter!!!"

Ayah Hiro langsung datang setelah aku berteriak keras, aku menyingkir dari sana membiarkan Hiro dan ayahnya melakukan tugasnya. Aku dalam hati sangat bersyukur, namun aku merasa kesepian karena Ryota tak ada disekitarku.

"Syukurlah Eiji-kun sudah bisa beradaptasi dengan jantungnya, jika dalam beberapa hari kedepan ada sesuatu, segera panggil saya, nona muda." Aku mengangguk, permasalahan donor jantung itu aku sudah mengetahuinya. Tapi siapa pendonor itu aku masih tidak tahu, untuk pendonor darahku sendiri bahkan aku juga tidak tahu.

"Syukurlah...." Aku menggenggam tangan besar nya, mengelusnya seraya mengucap syukur pada yang maha kuasa.

"Re....na...." Suaranya begitu lirih dan berat, tapi aku merasa rindu ku terbayarkan.

SATU [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang