Pan

6.4K 1K 118
                                    

"Kau gila" 

Dua kata ini membuat Jaemin mengendurkan cengkramannya dikerah kemeja Jeno. Dia memandangi Jeno sedikit melankonis.

Iya, dia gila. 

Andai perasaan sakit kala tubuhnya dicabik-cabik tidak terasa jelas. Jaemin mungkin bisa bersikap sedikit rasional.

"Kau benar, aku gila" Tangan Jaemin terkulai lemas. 

"Tapi, andai kau berada diposisiku saat ini. Kata gila tidak berlebihan... Pergilah, aku yakin kau memiliki kunci cadangan dikamar ini" Jaemin mendorong tubuh Jeno.

Mengikuti perkataan Jaemin, Jeno mundur perlahan sebelum berjalan mendekati lemari kecil disudut kamarnya.

Air mata Jaemin menggenang, Tuhan beginikah nasibnya?.

"Haruskah aku menjadi pawang macan. Eh! pawang macan atau singa?" Monolognya.

* * *

Memperhatikan mobil range rover keluar perkarangan dari balkon, Somi cepat membalik tubuhnya. Matanya menangkap tuan mudanya tengah melamun. Setelah kembali ke kamar, penampilannya semakin berantakan.

"Panggilkan putraku, aku ingin dia tidur disini malam ini" Suruhnya tiba-tiba.

"Perintah tuanku"

Sebenarnya Yeri tidak mengizinkan Jisung pergi, mau bagaimana lagi yang memanggil adalah Ahna bocah itu sendiri. 

"Mengapa Ahna tampak sedih?" Tangan bocah empat itu menangkup wajah Ahnanya.

Meraih tangan putranya dan menciumnya. Jaemin merasakan rasa sakit tidak terkatakan. Dia menyesal untuk Jisung, baik Jaemin peran samping maupun dirinya tidak ada yang bisa mendampingi Jisung sampai dewasa. 

"Maafkan Ahna... "

"Mengapa Ahna meminta maaf? Ahna tidak melakukan kesalahan apapun" Jisung berkata  polos.

Membawa bocah itu kedalam pelukkannya, Jaemin menumpahkan air matanya. Dia tidak membaca habis novel terkutuk itu. Jadi, dia tidak tahu bagaimana masa depan Jisung. Walau dia punya keyakinan kedua pemeran utama pasti memperlakukan Jisung baik.

Tetap saja... Pasti ada variabel tidak terduga.

"Ahna mencintaimu nak..." Lirihnya.

Yeri yang mendengar itu mendongakkan kepalanya. Pemandangan seorang pemuda tengah memeluk erat anaknya sembari menangis menyambutnya.

* * *

Datang dengan membawa semangkuk sup, Nancy penuh harap saat melihat Jaemin menuruni tangga dan berjalan ke arahnya.

"Maaf telah mengganggu waktu istirahat kakak kedua malam-malam seperti ini. Namun, adik iparmu ini tidak bisa menahan diri" Pipi Nancy sedikit memerah, dia mengulurkan tangannya. Berniat memberikan semangkuk sup buatannya.

"Adik iparmu membuat sup bergizi, mengingat kakak ipar tidak dalam kondisi baik"

Menatap Nancy, Jaemin merasa iba. 

Di detik terakhir kematiannya, Nancy menangis keras dan belarian kesana-kemari meminta pertolongan untuknya.

"Menghargai upaya adik ipar" Jaemin mundur selangkah dan membungkuk tanda berterima kasih.

Nancy membeku, "Kakak.."

Jaemin mendongak, "Dimasa depan... Jika adik perempuan membuatkan sup tanpa sajak. Kakak ipar keduamu dengan senang hati menerimanya"

Tersenyum getir, Nancy menelan kenyataan bahwasannya dia baru saja ditolak.

* * *

MeraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang