Wa Pat

6.7K 1K 117
                                    

Jaemin bermimpi...

Mimpi yang aneh sekali, sama sekali berbeda dari mimpi buruknya yang sudah-sudah. Jadi, begitu dia membuka mata. Jaemin linglung untuk sesaat. Dia juga tidak merespon dekapan hangat suaminya.

Hatinya gundah...

"Jeno..." Panggil Jaemin.

"Iya?" Jeno meraih sisi wajah Jaemin.

 Jaemin menatap Jeno sebelum meraih tangannya dan menggenggamnya, "Bolehkah aku membuat permohonan padamu?"

Tak

Jeno menyentil dahi Jaemin pelan, "Akhir-akhir ini kau banyak sekali permintaan"

Biasanya Jaemin akan pura-pura kesakitan dan ribut ingin membalasnya. Namun, pasangannya itu tampak serius membuat Jeno mau tidak mau bertanya-tanya dalam hati.

"Baiklah..."

Tersenyum senang, Jaemin memberikan kecupan dipipi kanannya. "Jaga Jisung untukku, hanya dia satu-satunya darah dagingku"

Sorot mata Jeno menajam.

"Jaemin"

"Aku juga ingin  minta maaf Jen, Jisung tidak bisa melihat adiknya lahir"

* * *

Haechan mengenakan jubah tidurnya tergesa-gesa, pelayannya mengatakan kakak keduanya sudah menunggu di ruang tamu. Tidak mungkin Jeno bertamu jam dua dini hari tanpa adanya maksud dan tujuan!.

"Jeno..." Haechan menyapa sesampainya diruang tamu.

Sepupunya itu tengah duduk sembari menatap datar ke depan, tidak sedikitpun meliriknya. Firasat Haechan jelek, tidak biasanya Jeno mengabaikannya.

"Apakah kau menyukai tuan muda Wong itu? Haechannie?" Jeno bertanya.

Membuat Haechan membeku, dia tidak pernah menyangka. Jeno melontarkan pertanyaan seperti ini...

Bagaimana bisa dia menjawabnya?.

"A-aku" 

"Pertunangan kalian..." Jeno menggantung ucapannya, dia menoleh menatap Haechan "Jika kau tidak menyukainya, sebaiknya putuskan"

Haechan melebarkan matanya, "Jeno! Jangan sembarangan bicara! Keluarga kita akan marah besar!"

"Oh... Kau memang tidak menyukai dirinya"

Terdiam, Haechan menatap Jeno gelisah. Air matanya hampir menggenang...

Ya, dia akui tidak menyukai tunangannya sendiri. Tapi, keluarga Lee tidak mau tahu. Mereka berpikir keluarga Wong sangat pantas bersanding dengannya tanpa bertanya pendapatnya. Apakah dirinya sudi atau tidak?.

Jeno berdiri dan berjalan mendekati Haechan. Dia mengulurkan tangannya, "Lepaskan cincin ditanganmu, besok aku yang mengembalikannya"

* * *

Pagi-pagi sekali keluarga Lee gempar, Haechan memutuskan hubungan dengan tunangannya. Dia mengembalikan cincin berserta semua hadiah yang pernah diberikan termasuk hadiah spesial malam kemarin. 

Keputusan gila ini, semua orang menatap Jeno yang tenang memberikan cincin emas murni yang dihiasi berlian kecil milik Haechan ditangan madam Lee. 

Madam Lee sendiri mendelik, jika tidak ingat dia berada di depan seluruh keluarganya. Dia pasti akan mengutuk Haechan.

"Tidak mungkin Haechan begitu saja memutuskan hubungan! Pasti ada sesuatu, semalam dia dan tuan muda Wong sangat akur dan romantis" Madam Lee marah.

"Tidak mungkin juga dia membuat keputusan seberani ini secara tiba-tiba" Lanjut Madam Lee.

"Ibu... Akulah orang yang menyuruhnya memutuskan hubungan" Jeno mengaku.

Semua orang terkejut.

"Jeno, beraninya kau!" Ibunya Haechan berdiri.

"Aku hanya tidak ingin Haechan bernasib sama denganku, harus terus hidup bersama orang yang dicintai"

Madam Lee menatap putra tirinya, sorot matanya menajam.

"Bukan, bukan kami yang memilihkan pasangan untukmu... Kau sendirilah yang meminta"

* * *

Penampilan Jaemin berantakan semenjak dia siuman. Wajahnya yang biasa cerah terlihat pucat, bibi merah cherry miliknya pun kehilangan warna. Sisanya dia bahkan terlihat lelah.

Itu hanya semalam. Namun, tuan muda Na terlihat berbeda. Banyak bisik-bisik yang terdengar, kalau semalam tuan muda kedua tampak marah luar biasa. 

Habis sudah ketenangan rumah ini...

Sementara itu Jaemin, duduk dipinggir ranjang. Wajah pucatnya dihiasi jejak air mata. Walau begitu senyumnya tidak luntur sama sekali. 

"Betapa indahnya hidup" Bisiknya pelan.

Brukkk

Dia kemudian merebahkan dirinya diatas ranjang mewah miliknya dan sang suami. Langit-langit kamar kembali menghadirkan senyum menawan miliknya.

"Aku juga ingin minta maaf Jen, Jisung tidak bisa melihat adiknya lahir"

Jaemin memejamkan matanya.

"Apa-apaan! Kau tidak boleh bicara sembarangan!" 

"Maaf Jen, aku hanya... Aku hanya memikirkan macan-macan pemberian tuan muda Wong, sebelumnya aku bermimpi ada sekawanan macan mencabik-cabik tubuhku. Aku sangat takut, takut mati meninggalkanmu dan Jisung"

Perlahan Jaemin membuka matanya.

"Percayalah itu hanya bunga tidur"

"Hahaha..." Jaemin tertawa pelan, "Kalau tebakanku benar"

"Si brengsek itu pasti sudah jatuh hati padaku..."

MeraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang