Pagi ini, matahari menggantung rendah di langit, menyinari jalanan yang masih basah oleh embun. Udara terasa sejuk saat (Name) mengikat tali sepatunya, bersiap untuk berangkat ke sekolah. Kini ia sudah duduk di kelas tiga sekolah dasar, lebih besar, lebih mandiri, tapi tetap anak kecil yang suka merengek.
Di ambang pintu, Mai berdiri, memperhatikan sosok kecil itu dengan tatapan lembut. "Jangan lupa makan siangmu, ya." ucapnya, tersenyum seperti biasa.
(Name) mengangguk cepat. Ia mendekati ibunya berniat untuk memeluk, sesudahnya ia tersenyum semakin riang begitu pula dengan ibunya.
"(Name). Dengarkan perkataan ibu ya, kalau ada orang dewasa tidak dikenal yang mengajak mu pergi, jangan mau ya!" Kedua bahu kecil (Name) dipegang erat, Mai memperingatinya bahwa harus selalu berhati-hati. Bukan apanya, orang yang menyandang sifat pedofil semakin banyak. (Name)-nya terlalu imut, dirinya takut hal itu terjadi.
"Memangnya kenapa ibu?" Tanya (Name) tidak mengerti.
"Mereka akan memakanmu kalau kau mengikutinya!" Mendengarnya, (Name) seketika meremang takut dan langsung menangguk cepat. Ia akan mengingat perkataan ibunya.
"Baiklah. Aku pergi, Ibu!" serunya riang, melambai sebelum berlari kecil ke arah gerbang.
Mai tetap berdiri di sana, menunggu sampai bayangan kecil itu menghilang di tikungan jalan. Begitu sosoknya tak lagi terlihat, senyum di wajahnya perlahan meredup.
Ia melangkah masuk ke dalam rumah, melewati ruang tamu yang terasa lebih sunyi daripada biasanya. Dengan langkah pelan, ia menuju kamar, membuka pintu dan melangkah mendekati meja di sudut ruangan. Tangannya terulur, meraih botol kecil yang sudah menjadi bagian dari rutinitas hariannya.
Dibukanya tutup botol itu, beberapa butir obat bergulir ke telapak tangannya. Tanpa berpikir panjang, ia menelannya, menutup mata sejenak saat rasa pahit menyusup di lidahnya.
Denyut nyeri di dadanya datang lagi, samar tapi jelas, mengingatkannya bahwa waktunya semakin menipis.
Penyakit jantung ini… sesuatu yang sudah ia sembunyikan begitu lama, dan dokter me-diagnosa bahwa waktunya tidak sedikit. Izana, Kakucho, Ran, Rindou, dan terutama (Name)—mereka tidak tahu. Mai tidak ingin mereka tahu.
Anak-anaknya sudah cukup banyak kehilangan. Ia tidak ingin mereka dibebani dengan rasa takut akan perpisahan yang tidak bisa dihindari.
Ia duduk di kursi di samping meja, menghela napas panjang. Tatapannya jatuh pada foto-foto yang tertata rapi di meja, gambar (Name) dan anak-anak yang lain, tawa mereka yang tertangkap di dalam bingkai.
"Aku belum siap meninggalkan putri kecilku.."
Mai hanya bisa berharap, saat waktunya tiba, (Name) tidak akan terlalu lama terjebak dalam kesepian. Ia ingin mereka tetap melangkah ke depan, tetap bersama, tetap saling menjaga, meski dirinya sudah tiada.
( ・ั﹏・ั)
Langit sore membentang luas di atas kepala (Name), biru cerah dengan beberapa awan putih yang berarak perlahan. Ia menghela napas panjang, menatap kosong ke atas sambil mengayunkan kaki di atas dipan rumah. Sepulang sekolah, ia merasa sangat bosan.
Ibunya pergi ke rumah sakit untuk kontrol, sementara Izana, Kakucho, dan Haitani bersaudara sibuk berbincang tentang sesuatu yang sama sekali tidak ia mengerti. Rasanya seperti ada tembok yang memisahkan mereka.

KAMU SEDANG MEMBACA
𝐖𝐡𝐞𝐫𝐞 𝐈𝐬 𝐌𝐲 𝐇𝐞𝐫𝐨?-𝑻𝒐𝒌𝒚𝒐 𝑹𝒆𝒗𝒆𝒏𝒈𝒆𝒓𝒔 ✅
ФанфикPerlahan tenggelam dalam kehampaan. Satu per satu, orang-orang yang dulu mengelilinginya pergi. Beberapa dengan alasan, beberapa tanpa penjelasan. Dunia yang dulu terasa hangat kini dingin dan sunyi, meninggalkannya sendirian dalam gelap. Awalnya me...